Sabtu, 11 Oktober 2014

Artikel Pancasila dan Penyimpangannya

PANCASILA DAN PENYIMPANGANNYA 

 Pada dasarnya, pancasila merupakan landasan kokoh Negara Indonesia, sebagai Ideologi dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila berperan penting sebagai control dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengacu pada pengaturan dan pengendalian hidup berbangsa yang lebih baik. 
Malangnya dewasa kini, telah terjadi degradasi besar-besaran atas pemahaman akan nilai-nilai pancasila, yang menyebabkan tibulnya penyimpangan-penyimpangan yang sudah mengingkari makna pacasila itu sendiri. Berbagai factor banyak mengambil andil atas hal ini, di mana banyak generasi muda sudah tidak lagi paham akan makna pancasila dan bermasa bodoh akan pandangan hidup bangsanya. Pada era Global inipun, berbagai hal turut ikut campur dalam melunturkan pemahaman anak-anak bangsa kita mengenai ideology yang telah dianut puluhan tahun ini. Sungguh malang bangsa seperti itu, terlebih mengingat bahwa bangsa itu adalah bangsa Indonesia. Mengapa penyimpangan terjadi atas landasan bangsa kita? Mengapa pandangan hidup bangsa dan Negara yang telah diperjuangkan oleh darah dan daging orang-orang sebelum kita para generasi muda malah hanya menjadi hal yang dipandang tak bermakna? Seperti inilah bangsa Indonesia di masa sekarang. Jika hal seperti ini teruslah berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan, pancasila itu hanya akan menjadi tulisan tanpa makna yang bergelar dasar Negara atau ideology bangsa. 
Sebelum menggali dan menerjang lebih dalam mengenai berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi atas landasan Negara kita, perlulah kita mengetahui apa Pancasila itu, apa landasan itu sebenarnya. Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan. 
 Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. 
 Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut : 
1. Ketuhanan Yang Maha Esa 
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 
3. Persatuan Indonesia 
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan 
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia 
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstisional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. 
Pancasila, saat ini berperan penting, hal itu terbukti bahwa saat ini pancasila telah dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga bangku perguruan tinggi. Tetapi meskipun begitu, masih saja banyak yang tidak memahami arti sebenarnya atas ideology Negara ini. atas dasar tersebut pula, penyimpangan yang terlihat jelas terjadi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, mulai dari pemahaman, pengamalan, sampai pengaturan tata aturan Negara yang menyimpang dari pancasila. Umumnya, kebanyakan penyimpangan tersebut disesuaikan dengan amalan Negara Indonesia yang demokratis, sehingga hokum-hukum yang tertata dalam undang-undang dasar mengikuti bentuk Negara Indonesia yang demokratis tanpa memperhitungkan pengamalan pancasila di dalamnya. 
Pada tanggal 12/2 lalu, tepatnya di salah satu gedung kampus biru Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, berlangsung seminar bertajuk Sarahsehan Kebangsaan “Mewujudkan UUD Berdasarkan Pancasila” yang digagas oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM dengan menghadirkan berbagai pakar dan intelektual seperti Ketua PSP UGM Prof. Dr. Sudjito, Tokoh Masyarakat Prof. Dr. Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Dr. Kaelan, dan Sosiolog UGM Prof. Dr. Sunyoto Usman. 
Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Kaelan mengatakan amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Negara Hukum, Tujuan Negara, dan Demokrasi, tidak menunjukkan adanya hubungan yang koheren dengan nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam esensi staats fundamental norm yaitu nilai-nilai Pancasila. “Hasil penjabaran dari amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek politik dan hukum sementara tujuan negara welfare state tidak dijadikan prioritas,” begitu tutur Kaelan. Pernyataan ini membuktikan ketidaksinkronan antara nilai-nilai hokum yang terkandung dalam UUD dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. 
Kaelan mencontohkan beberapa pasal UUD 1945 misalnya, ayat 4 pada pasal 33 yang mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. “Yang intinya menyebutkan demokrasi ekonomi dan dalam prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak koheren dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945,” katanya. 
Pasal lainnya, seperti Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada presiden, DPR dan DPD. Menurut Kaelan, jika kedaulatan rakyat berhenti pada presiden dan DPR maka tujuan negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila akan mustahil terwujud. 
Selain itu pada pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Umum juga menunjukkan kontradiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat. 
Sejalan dengan pernyataan Kaelan, Ahmad Syafii Maarif menilai hasil pemikiran amandemen UUD 1945 saat ini jauh menyimpang pada nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, titik pangkal persoalan ada pada perilaku elit negara yang tidak bersikap negarawan. “Amandemen UUD itu karena ada euforia begitu rupa. Amandemen 4 kali itu tidak sehat, sarat emosional,” begitu katanya. 
Untuk meluruskan kembali UUD 1945 yang berdasarkan pada Pancasila, Safii Maarif mengusulkan agar bisa merujuk hasil dokumen konstituante 1956-1959. “Perlu ungkap kembali, 90 persen isinya bagus,” katanya. 
Kepala PSP UGM, Prof. Dr. Sudjito, mengatakan amandemen UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sebab, wakil rakyat dahulunya tidak diajarkan tentang ilmu dan norma-norma dasar filsafat Pancasila. “Jika norma dasarnya salah, tataran praksis akan tetap salah,” tambahnya. Dari pernyataan Prof. Dr. Sudjito ini, mengisyaratkan kurangnya pendidikan berbangsa dan bernegara berbasis Pancasila yang dienyam oleh wakil-wakil rakyat, sehingga menjadikan timbulnya kesalahpengertian atas pengamalan pancasila yang seharusnya sejalan dengan UUD, terbukti dengan banyaknya pasal-pasal dalam UUD yang menyimpang dari nilai hokum yang terkandung dalam pancasila. 
Diakui Sudjito, banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan hanya menyesuaikan pada kepentingan partai, kelompok, dan tidak jarang mencomot ideologi asing. (Humas UGM/Gusti Grehenson). 
 Sayang sekali, dari sekian banyak kasus kenegaraan, penyimpangan pancasila inilah yang paling besar dampaknya pada system dan bentuk kenegaraan kita, tetapi masalah ini pulalah yang terlampau sedikit menjadi sorotan masyarakan luas. Warga Negara yang ada hanya mementingkan kepentingan individualis dan bersifat liberal, partai-partai politik bersenandung senada demi mencapai tujuan masing-masing tanpa melihat konsep Negara yang tidak sejalan dengan amalan mereka bahkan sampai mencomot ideology asing (Prof. Dr. Sudjito). 
Hal-hal seperti tersebut di atas, merupakan sedikit banyak factor yang menyebankan penyimpangan terjadi di sana-sini, bukan hanya UUD yang menunjukkan penyimpangan menganga mengenai kesalahpahaman konsep Pancasila, tetapi dari bangsa Indonesia itu sendiri, terutama generasi mudanya. Para generasi muda sekarang semakin mengincar kepentingan pribadi sendiri. Dalam sebuah interview yang disaksikan oleh salah seorang guru penulis, menyorot keprihatinan putra bangsa kita mengenai pemahamannya atas Pancasila. Dalam siaran stasiun televise TVRI yang disiarkan 2 tahun yang lalu, seorang wartawan mewawancarai salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia mengenai pancasila. Tragisnya, si mahasiswa banhkan tidak bisa menghafal tiap bait dari pancasila itu sendiri. Ini menjadi contoh sekaligus bukti nyata ketidak pekaan bangsa sendiri terhadap Ideologi Negara. 
Di sisi lain, salah satu factor yang juga ikut mengambil andil adalah masuknya ideology asing yang kini dianut oleh pribadi bangsa kita. Seperti yang dituturkan oleh Prof. Dr. Sudjito dalam Sarahsehan Kebangsaan, banyak peraturan perundang-undangan yang mementingkan kepentingan partai atau golongan tertentu yang bahkan mencomot ideology asing dan tidaklah sejalan dengan pancasila. Hal ini membuat pancasila yang seharusnya dapat sejalan dengan perkembangan zaman, ideology yang terbuka, malah terlihat seperti seonggok tulisan yang beridentitaskan dasar Negara tanpa adanya bentuk partisipasi dalam pengamalannya oleh warga Negara itu sendiri. 
Masalah kenegaraan seperti ini tidak seharusnya mencuat ke hadapan dunia, mengingat bangsa kita adalah bangsa yang satu, seharusnya kerjasama yang terjalin dapat meringankan beban seperti ini. sejalan dengan hokum-hukum pancasila, UUD sebaiknya direvisi untuk menemukan tuntutan hokum yang lurus berpatokan pada dasar idologi Negara, dan para generasi muda bangsa, perlulah dipertegas arti sebenarnya pancasila itu, ditanamkan di dalam pribadi mereka mengenai konsep dasar pancasila agar menjadi warga Negara yang sarat hokum dan memperhatikan kondisi negaranya. 
Selanjutnya, berpatokan pada sifat Pancasila yaitu merupakan ideology terbuka, konsep dasar Negara kita seharusnya berjalan beriringan dengan zaman, menerima konsep dari luar tetapi tidaklah mengubah dasar kontekstualnya. Dengan begitu, tidak akan ada idologi asing yang dianut oleh golongan bangsa kini, dan membentuk pribadi-pribadi yang memperhatikan hokum.