Selasa, 18 Agustus 2015

MUSHIBUGYO
BIRTH DAY IN LOVE

Genre: romance, friendly, Sho-ai

Pair: Mugai x Jinbei

Rating: semi-M

Disclaimer to: Hiroshi Fukuda-sensei

Sumarry:
Hari ulang tahun Mugai adalah hari istimewa bagi Tsukishima Jinbei. Dengan sedikit dorongan dari Kotori dan informasi dari Koikawa, Tenma, juga Hibachi, samurai muda itu menyerahkan semua yang ada pada dirinya pada Mugai sebagai hadiah. Maksud dari semua yang ada pada dirinya adalah seperti bisnis prostitusi.

















Tanah tua negeri sakura bersinar diterpa mentari pagi. Edo nampak memukau dengan kilauan surya diatasnya, ibukota Jepang ini terus berkembang diambang zaman, berusaha beradaptasi dengan evolusi dunia.
Di zaman ini, Edo di teror oleh wabah monster yang mengerikan. Serangga berukuran raksasa berkeliaran bebas ditanah-tanah ibukota Edo, membunuh dan memangsa manusia yang tinggal di dalamnya. Alasan kemunculan mereka masih tak diketahui.
Menanggapi wabah mengerikan ini, pemerintahan Edo mengutuskan dibentuknya organisasi khusus untuk membasmi serangga-serangga raksasa itu. Berbagai konspirasi bermain di dalam pemerintahan hingga dibentuklah organisasi tersebut. Mushibugyo, adalah departemen khusus berisi orang-orang dengan kemampuan spesial yang dirancang untuk membunuh dan mengalahkan serangga raksasa yang meneror Edo.
Mushibugyo dipimpin oleh seorang yang disebut Mentri Serangga. Semua keputusan diambil berdasarkan arahannya. Organisasi Mushibugyo sendiri dijalankan oleh beberapa orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Orang yang menjadi perwakilan dari Mentri Serangga diberikan wewenang khusus sebagai pimpinan asosiasi.
“Oyaho gozaimasu, Tenma-dono!”
Suara brisik dari sapaan seorang samurai muda bernama Tsukishima Jinbei menggelegar di depan kamar Ichinotani Tenma, seorang Onmyoji muda dengan bakat luar biasa. Pintu kayu yang membatasi dunia luar dengan bagian dalam kamar itu terbuka. Seorang anak laki-laki dengan potongan rambut mangkuk keluar sambil mengucek matanya. Nampak dia tidak senang dibangunkan dengan suara Jinbei.
“aa-ah..., Jinbei-san. Ohayo...”
“Tenma-dono! Bisakah anda ikut latihan bersamaku hari ini?”
“eeh? Kenapa?”
“aku harus bertambah kuat untuk membalas budi Mugai-dono! Saat berkunjung ke rumah Kawashima-dono kemarin, aku hanya menjadi seorang penghalang bagi Mugai-dono. Aku harus melatih tubuhku agar bisa bersanding dengan Mugai-dono!!”
Mata berapi-api dan latar letusan gunung  berapi menjadi background semangat Jinbei, membuat silau penglihatan Tenma. Pintu kamar Tenma tertutup. Jinbei melongo diluar. Ini sudah yang ketiga kalinya dia ditolak ajakannya oleh yang lain. Pertama adalah gadis Ninja spesialis peledak, Hibachi, lalu pria yang memotong semuanya bahkan dengan gergaji, Koikawa. Semangatnya terasa pudar sedikit demi sedikit.
Jinbei berjalan lunglai kearah halaman tengah lingkungan asosiasi Mushibugyo. Inderanya menangkap sosok yang berjalan ke arahnya. Pria tinggi dengan rambut putih yang panjang dan wajah tampan. Tangan kanannya tak pernah lepas menggenggam senjata besar yang digunakannya untuk menghancurkan serangga yang ia temui. Jinbei berhenti melangkah, menatap lekat sosok Mugai dengan sedikit lesu.
“o-ohayo, Mugai-dono.”
Sapaannya begitu lemah tak bertenaga. Melihat sosok Mugai yang berdiri tegak di hadapannya membuat ia merasa tidak bisa menggerakkan tubuh. Orang itu begitu kuat dan berani, ia seperti tak ada apa-apanya dibanding sosok Mugai yang tengah berhenti menatapnya sekarang.
“ada apa?”
Mugai bertanya dengan aksen datar khasnya. Jinbei tersadar dari pergulatan intrapersonalnya. Ia fokus menatap Mugai, wajahnya memerah, lalu tertunduk mencari alasan.
“ti-tidak. Aku hanya sedang mencari teman latihan untuk bisa lebih kuat lagi. Aku harus bisa menjadi orang yang bisa anda andalkan, Mugai-dono! Suatu hari nanti, aku akan membalas budi kepadamu! ”
Tatapan meluap-luap oleh semangat dilemparkan sang samurai muda kearah mata Mugai. Sedikitnya, itu menyentuh perasaan Mugai. Sedikit senyum yang tak ketara melengkung d bibir Mugai. Tangan besar itu melayang dengan sendirinya, lalu meraih puncak kepala sang samurai muda. Mengacak pelan surai diatas kepala dengan wajah yang manis. Jinbei hanya tertegun.
Mugai kembali melangkah meninggalkan Jinbei setelah mengusap kepalanya. Jinbei menatap punggung Mugai sambil memegangi kepalanya yang diusap oleh tangan besar Mugai. Wajahnya memerah. Sambil tersenyum, ia merunduk dalam kearah Mugai yang tak berbalik sedikitpun. Tapi tanpa diketahui oleh si Samurai muda, mata Mugai melirik sekilas kearahnya.
Jinbei berlatih seorang diri di halaman tengah istana, pagi yang cukup sibuk baginya. Maksudku, terkalah apa yang dilakukannya dengan sebuah kayu panjang yang diselimuti oleh 3 buah batu besar sebagai pemberat. Itu caranya melatih lengan dan yunan tangannya saat memegang Samurai miliknya. Beberapa orang menganggapnya berlebihan, seperti Hibachi misalnya. Gadis peledak itu lebih suka melempar bom rancangan terbarunya pada Jinbei daripada harus membantunya berlatih.
“oi, Tsukishima!!”
Suara merdu gadis peledak itu menggelegar di telinga Jinbei, perhatian samurai muda itu langsung teralihkan ke sosok Hibachi yang berlari kecil ke arahnya. Jinbei menghentikan ayunannya.
“ada apa, Hibachi-dono?”
“ne, bisakah kau menemaniku belanja sebentar? Aku sudah mengajak Tenma, tapi sepertinya dia agak sibuk. Kau mau kan?”
“hmm..., baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar, Hibachi-dono!”
Jinbei melemparkan bahan latihannya kesembarang arah sehingga menimbulkan bunyi bedebam. Ia menatap Hibachi sambil tersenyum senang. Sedikitnya, gadis peledak merasa bersalah karena mengajak samurai muda itu untuk menemaninya sementara tadi ia menolak mentah-mentah ajakannya untuk latihan bersama. Dalam hatinya, ia berpikir untuk menebus kesalahannya dengan membiarkan Jinbei mencoba bom buatan terbarunya.
“Hibachi-dono?!”
Karena terlalu larut dalam khayalannya yang entah bertujuan baik atau buruk, Hibachi sampai lupa untuk segera pergi. Seruan Jinbei menyadarkannya segera.
Keduanya berjalan dengan santai di area pemukiman Edo, melirik beberapa toko perlengkapan. Hibachi beberapa kali singgah di toko tertentu, namun keluar dengan tangan kosong. Jinbei agaknya penasaran dengan sesuatu yang hendak dibeli oleh Hibachi.
“na, Hibachi-dono. Benda seperti apa yang akan anda beli?”
Tutur kata Jinbei sopan seperti biasanya, tapi bentuk pertanyaan itu sedikit membuat Hibachi kesal dan malu. Ia tak ingin terlihat begitu feminin di hadapan orang lain. Kecuali di hadapan orang itu. Pria yang sudah merebut hatinya sejak pertama kali bertemu. Mugai.
“ha-haah?! I-itu bukan urusanmu, bodoh! Aku hanya memintamu untuk menemaniku kan? Jangan menanyakan hal lain!”
Jinbei swetdrop dibuatnya, dengan melongo ia hanya berpikir tentang sesuatu yang memalukan. Sesuatu yang mampu membuat wajah Hibachi semerah itu. Tapi ia menghentikan rasa penasarannya. Atau lebih menekannya.
“a-aah, baiklah kalau begitu.”
Keduanya berjalan lagi, kembali singgah di sebuah toko. Kali ini, adalah sebuah toko aksesoris. Jinbei seperti sebelumnya, hanya menunggu di luar. Saat sedang bersenandung dengan senangnya, mata samurai muda itu menangkap sosok yang familiar. Segera ia berjalan menyapa orang itu dengan cepat.
“Oharu-dono! Ohayo gozaimasu!!”
Seorang gadis berkimono pink dengan dada yang besar berhenti dan menatap Jinbei. Senyum merekah di bibirnya saat mendapati Jinbei sedang merunduk dalam di hadapannya.
“aah, Jinbei-sama, ohayo gozaimasu!”
“Oharu-dono, anda ingin kembali ke kedai?”
“um! Jinbei-sama sendiri, sedang apa di sini?”
“aah..., aku hanya menemani Hibachi-dono membeli sesuatu. kalau begitu, sampai jumpa!”
“baiklah. Sampai jumpa.”
Gadis itu, Haru, melangkah menjauh sambil melambai pada Jinbei. Jinbei kembali ke depan toko yang tadi mereka singgahi. Tepat saat itu juga, Hibachi keluar dari toko tersebut. Seperti biasa, tak ada yang dipegangnya.
“eh? Hibachi-dono, anda belum menemukan benda yang anda cari?”
“aku sudah menemukannya. Ayo, kembali.”
“baiklah!”
Keduanya berjalan kembali ke kantor Mushibugyo. Di tengah perjalanan, rasa bersalah yang sempat dirasakan oleh Hibachi tadi pagi muncul kembali. Itu membuatnya ingin segera melunasi hutangnya karena telah mengajak Jinbei menemaninya belanja selama 3 jam lebih.
“na-naa, Tsukishima.”
“hm? Ada apa, Hibachi-dono?”
“a-akan kuperjelas, ini bukan karena aku merasa berhutang atau apa ya! Aku hanya ingin berterima kasih karena sudah menemaniku berbelanja. Akan kujawab satu pertanyaanmu.”
“uwaahh..., benarkah itu, Hibachi-dono?!”
Jinbei menatap Hibachi dengan mata berbinar. Sementara gadis itu hanya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak ingin memperlihatkan wajah merahnya pada Jinbei.
“tentu. Jadi cepatlah bertanya!”
“baiklah! Kalau begitu, aku ingin tahu apa yang Hibachi-dono beli!”
Sebuah pukulan keras mendarat di puncak kepala Jinbei, samurai muda itu meringis merasakan sakit di kepalanya.
“aku akan menjawab pertanyaan lain asal jangan yang itu!!”
“ke-kenapa?!”
“itu rahasia bodoh! Tanyakan yang lain!”
“ba-baiklah. Mungkin, alasan Hibachi-dono membeli hadiah itu?!”
Hibachi berhenti melangkah. Wajahnya memanas sempurna. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu karena ia berpikir bahwa Jinbei pasti menebak bahwa apa yang dibelinya sudah pasti adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan jawaban pertanyaan itu. Tapi ia juga telah berjanji untuk menjawab pertanyaan samurai muda itu.
Hibachi menghela napas panjang. Ia menetralkan warna wajahnya sejenak.
“kau masih anak baru. Jadi kau tentu belum mengetahui ini.”
“hmm?”
“3 hari lagi, Mugai-san akan berulang tahun. Orang-orang tida merayakannya, karena Mugai-san tidak menyukai pesta. Jadi yang lain hanya memberikannya hadiah.”
Hening diantara mereka. Setelah kalimat panjang itu keluar dari mulut Hibachi, tak ada sedikitpun suara dari Jinbei. Gadis itu beralih menatap Jinbei. Ia melihat raut keterkejutan di wajah samurai muda itu. Hibachi terheran.
“Tsukishima?!”
“huwaaaa!!!! Be-benarkah itu, Hibachi-dono?!!”
“y-ya, benar. Bisakah kau tenang sedikit?”
“aku tidak bisa tenang sekarang! 3 hari lagi adalah ulang tahun Mugai-dono, dan aku belum melakukan apapun untuknya! Aku harus mencari hadiah untuknya! Hibachi-dono, bisakah anda kembali sendiri? Aku ingin mencari hadiah untuk Mugai-dono!”
“a-aah, baiklah.”
“yosha!! Mugai-dono!!!!!!!”
Dengan sekuat tenaga Jinbei berlari kembali ke daerah pemukiman padat penduduk, mencari sesuatu yang disebut hadiah untuk diberikannya pada Mugai yang faktanya akan ulang tahun 3 hari lagi. Sedikitnya, Hibachi iri dengan sifat pemuda samurai itu. Dia sangat berterus terang dan tidak menyembunyikan apapun. dan kenyataan bahwa tingkat kepolosannya itu malah membuatnya terlihat bodoh. Tapi selain itu, Jinbei adalah tipe orang pekerja keras. Pasti banyak orang menyukainya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Hibachi sambil kembali ke markas Mushibugyo.
Jinbei berjalan terburu mencari toko untuk hadiah yang hendak ia berikan kepada Mugai. Namun, ia mendapatkan kendala yang sangat besar. Ia tidak tahu hadiah seperti apa yang bisa diberikannya pada Mugai. Pria itu adalah sebuah keberadaan yang luar biasa menurut Jinbei, akan sangat tidak pantas jika memberikannya hadiah yang biasa-biasa saja padanya. Jinbei merengut, sesekali ia menendang batu yang dilihatnya tergeletak di tanah. Kesal dan sedikit sedih.
“ara, Jinbei-san? Irashaimasen!”
Suara lembut Haru menghentikan langkah kaki Jinbei, ia menghadap ke kanan. Didapatinya warung makan Haru di sana, dengan gadis berdada besar itu di depannya sedang menyambut tamu seperti biasa.
“aah, Oharu-dono! Konichiwa de gozaimasu!”
Jinbei merunduk dalam kearah Haru, gadis itu tersenyum senang.
“silahkan masuk, akan kubuatkan beberapa dango untukmu.”
“aah, kurasa aku tidak bisa menerimanya sekarang, Oharu-dono.”
“hmm? Kenapa?”
“aku sedang mencari hadiah.”
“hadiah?”
“ya. Mugai-dono akan berulang tahun 3 hari lagi, aku ingin memberikannya hadiah. Tapi aku tidak tahu hadiah seperti apa yang diinginkannya. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa.”
Wajah memelas Jinbei mengundang senyum di bibir Haru. Gadis itu berpikir sebentar. Kemudian ia menemukan ide.
“kenapa tidak menanyakan pada anggota Mushibugyo yang lain, Jinbei-san?”
“eh?”
“hmm..., kurasa, karena mereka lebih lama bersama Mugai-san, sepertinya mereka akan tahu apa yang Mugai-san sukai. Bagaimana?”
“ah! Arigatou gozaimasu, Oharu-dono!! Aku tidak memikirkan itu sebelumnya. Kalau begitu, sampai jumpa, Oharu-dono!”
“baiklah. Sampai jumpa.”
Jinbei berlari sekuat tenaga menuju ke markas besar Mushibugyo, berharap dapat menemukan beberapa orang yang bisa memberinya petunjuk soal apayang ingin diketahuinya. Beberapa kali ia membuka tutup beberapa pintu ruangan sambil menyerukan nama yang ia ketahui seharusnya berada di sana. Sampai ia berhenti di halaman belakang markas, ia menemukan salah satunya.
Koikawa sedang asyik bermabuk ria di bawah naungan pohon. Cawan arak bertengger manis di tangannya, beberapa kali ia terlihat bersenandung dan cegukan. Mabuk di siang hari.
“Koikawa-dono!!!”
Suara cempreng Jinbei menyadarkan Koikawa segera dari pengaruh alkoholnya. Entahlah, ia bisa mabuk-mabukan dengan puluhan gentong arak. Tapi suara samurai muda itu selalu membuatnya tidak bisa mabuk dan segera sadar kembali. Pria yang dikenal sebagai pembunuh 99 itu menatap heran Jinbei yang terlihat sangat bersemangat.
“aah. Ada apa, anak baru?”
“Koikawa-dono! Aku ingin menanyakan sesuatu, jika berkenan, maukah andamendengarnya?!”
“hmm? Tanyakan. Akan kujawab jika bisa.”
“arigatou gozaimasu, Koikawa-dono!”
Koikawa tak bisa menahan senyumnya saat melihat wajah antusias samurai muda itu. Pemuda pendek itu punya cara sendiri untuk membuatnya menghiraukan sekeliling dan hanya memusatkan perhatian padanya. Padahal anak itu bodoh. Begitu pikir Koikawa.
“lalu, pertanyaanny?”
“ano..., begini. Aku baru tahu dari Hibachi-dono tadi pagi. 3 hari lagi, adalah ulang tahun Mugai-dono. Aku ingin tahu hadiah seperti apa yang biasa kalian berikan untuknya?!”
Koikawa mendecih. Baru kali ini ia merasa terganggu dengan wajah bersemangat. Perasaan mengganggu apa ini? Untuk apa dia melakukan hal seperti ini hanya untuk si Mugai itu? Hal tidak berguna seperti ini.
“aku tidak tahu!”
Koikawa menjawab ketus sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Takut jikalau nanti ia akan menjawab pertanyaan itu karena tak sanggup melihat wajah memohon Jinbei.
“heeh..., kenapa?! Koikawa-dono! Tolong beritahu aku! Koikawa-dono!! Ayolah, akan kulakukan apapun untukmu!!”
Gotcha! Kalimat itu baru saja membuat Koikawa tersengat aliran listrik ringan. Ia tengah berpikir untuk melakukan hal aneh pada Jinbei sebagai ganti untuk jawaban yang diinginkan pemuda samurai itu.
“baiklah. Sebagai gantinya, kau harus melakukan satu perintah dariku.”
“um! Baiklah! Akan kulakukan!”
“kau ini benar-benar menarik.”
Koikawa terdiam sejenak, mencoba mengulang kejadian beberapa waktu yang lalu saat perayaan ulang tahun Mugai. Seingatnya, tidak pernah ada perayaan untuk itu. Itu karena Mugai tidak menyukai perayaan atau semacamnya.
“aku hanya mengajaknya minum, lalu Hibachi akan datang dengan tumpukan makanan. Tapi kemudian pria itu pergi dan sampai besok baru bertemu kembali. Dia selalu seperti itu.”
“benarkah?”
“um. Nah, karena pertanyaanmu sudah kujawab. Sekarang saatnya kauuntuk menuruti perintahku.”
“baiklah. Apa itu, Koikawa-dono?”
“pertama, kau harus-“
“Jinbei-saan!!!!”
Suara Tenma yang melengking di sekitaran area itu mengintrupsi kegiatan yang sedang dilakukan oleh kedua pemuda itu. Terutama Koikawa. Jinbei lebih fokus pada namanya yang menjadi objek teriakan itu. Jinbei segera berdiri dari tempatnya, mencoba menemukan sosok Tenma.
“ah, sumimasen, Koikawa-dono! Bisa kita lanjutkan nanti?”
Tanpa menunggu jawaban si pembunuh 99 itu, Jinbei langsung melesat pergi mencari Tenma. Koikawa melongo di tempatnya, dalam hati ia mengutuk bocah bernama Ichinotani Tenma karena telah merusak kesempatannya berduaan dengan samurai tercintanya.
Jinbei menemukan sosok Tenma di tengah halaman markas. Anak itu terlihat sedang bingung. Jinbei menghampiri bocah itu.
“ada apa, Tenma-dono? Anda terlihat kebingungan.”
“um! Maaf memanggilmu sekarang, Jinbei-san. Aku ingin meminta tolong.”
“um? Apa itu?”
“tadi, saat latihan. Aku kehilangan Tamekichi. Aku sedang mencarinya, tapi dari tadi tidak ketemu. Apa kau bisa membantuku?”
“osu! Tentu saja! Aku, Tsukishima Jinbei, akan membantu anda untuk menemukannya!”
“um. Terima kasih. Aku jadi merasa tidak enak karena tadi pagi menolak ajakanmu.”
“tidak perlu dipikirkan. Ah, Tenma-dono. Bukankah akan lebih mudah jika membuat Tamekichi menjadi besar? Bukankah anada bisa melakukannya?”
“um! Tapi, resikonya terlalu besar. Aku tidak tahu dia berada di mana. Jika sampai aku menjadikannya besar sementara ia berada di tempat publik, itu hanya akan menimbulkan kerusakan yang tidak perlu. Jadi, aku hanya bisa mencarinya dengan cara ini. Maaf.”
“tidak perlu meminta maaf! Aku paham situasinya. Aku akan dengan senang hati membantu anda menemukannya.”
Jawaban Jinbei menciptakan lengkungan senyum di wajah Tenma. Bocah itu merasa bahagia berduaan dengan samurai muda itu. Maksudnya, hilangnya Tamekichi hanyalah sebuah alasan kosong supaya ia bisa berduaan dengan Jinbei. Terkadang ia harus merelakan harga dirinya untuk bersama samurai muda itu. Ia akan menjadi anak ceroboh dan atau anak yang sangat polos saat bersama Jinbei. Semua itu hanya agar Jinbei memberinya lebih banyak perhatian. Sejak pertama ia percaya pada Jinbei, ia sudah menyerahkan semua yang ada dalam dirinya pada Samurai muda itu.
“jadi, Tenma-dono. Kita mulai dari mana?”
“ah, soal itu. Kita bisa mencari di bagian belakang markas, karena tadi aku melakukan latihan di sana. Tapi, karena Tamakichi terbuat dari kertas, dia mungkin diterbangkan angin. Jadi, mungkin kita harus mencari seluruh bagian markas. Apa bisa?”
“hmm..., tentu saja! Aku, Tsukishima Jinbei akan membantu Tenma-dono! Ayo kita cari!”
“um!!”
Wajah bahagia Tenma dihiasi rona merah. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri bertambah cepat karena berada di dekat Jinbei. Tapi, ia sama sekali tak keberatan. Ia bahagia.
Pencarian atas Tamekichi memakan waktu hingga sore hari. Pada akhirnya, shikigami berbahan kertas mantra itu ditemukan di balik guci di dalam kamar Tenma. Keduanya bersorak setelah menemukan Shikigami tersebut, Jinbei menebarka feromon tanpa sengaja dan berhasil membuat Tenma harus menahan diri untuk memeluk samurai muda tersebut.
Malam harinya, Jinbei berkeliaran di sepanjang gedung luas bangunan markas Mushibugyo. Wajahnya kebingungan mencari sesuatu. atau seseorang. Matanya fokus pada seseorang yang muncul tiba-tiba dari sudut ruangan. Rambutnya hitam legam, dengan kacamata bulat kecil menggantung diantara hidungnya.
“ah, Kotori-dono!!!”
Suara menggelegar Jinbei segera membuat fokus pria itu teralihkan pada si samurai muda. Ia berhenti berjalan dan berdiri berhadapan dengan Jinbei.
“ada apa, Jinbei-kun?”
“Kotori-dono, ada yang ingin kutanyakan pada anda”
“hm? Apa itu?”
“aku ingin tau, hadiah seperti apa yang anda berikan kepada Mugai-dono saat ulang tahunnya?”
“hm? Kenapa tiba-tiba?”
“yaah..., 3 hari lagi adalah ulang tahun Mugai-dono. Aku sendiri tidak tahu hadiah seperti apa yang dia inginkan. Jadi, setidaknya aku tahu hal seperti apa yang mungkin diinginkannya.”
“ah, benar juga ya. 3 hari lagi ulang tahun Mugai. Aku baru ingat. Mugai itu tidak menyukai perayaan, jadi dia lebih suka menyendiri saja. Jika ada yang sempat memberinya hadiah, maka itu adalah Hibachi. Lalu, Koikawa mungkin akan menraktirnya minum.”
“hhh..., aku masih bingung apa yang harus kuberikan padanya.”
Kotori berpikir sejenak. Ia memandang Jinbei dengan seksama. Sedikit pikiran jahil muncul di kepalanya. Ia membayangkan keadaan dimana Jinbei dengan malu-malu menawarkan diri untuk menjadi teman latihan Mugai. Ia ingin melihat reaksi pria rambut putih itu. Pasti menarik menyaksikan ekspresi tak tentu dari Mugai. Jawaban baru saja keluar dari mesin pencetak di kepalanya.
“hm.., jika dengan Mugai. Sebaiknya kau memberikan sesuatu yang sangat penting untukmu. Dan kau harus memberikannya sepenuh hati. Kira-kira seperti itu. Aku yakin, dia akan tersentuh. Aku juga menyarankanmu untuk memakai Yukata biasa untuk bertemu dengan Mugai nanti.”
“be-benarkah itu, Kotori-dono?!”
Kotori agak terperanggah dengan wajah antusias Jinbei. Anak itu percaya pada apa yang dikatakannya. Manis sekali.
“yah, begitulah. Kalau begitu, sampai nanti ya, Jinbei-kun.”
“baiklah, Kotori-dono! Arigatou gozaimashita!!”
Waktu berlalu, Jinbei memantapkan pilihan hadiah yang akan ia berikan kepada Mugai. Pada hari yang ditunggu-tunggunya, Jinbei bersiap dengan segala hal yang ingin ia lakukan. Ia sudah mengamati Mugai dari sejak pria berambut putih itu keluar dari ruangannya di sore hari, menerima kado dari Hibachi, kemudian minum bersama Koikawa dan Kotori. Hingga saat ia hanya sendirian di ruangannya.
Jinbei mengamati kesendirian Mugai dalam diam, berharap bahwa sosok yang dikaguminya itu tak menyadari keberadaannya sekarang.
Waktu sudah menunjukkan larut malam. Bocah samurai itu masih menatapi Mugai yang duduk manis menatap bulan. Perasaan gusar tiba-tiba menghinggapi hatinya, ia tak yakin apakah Mugai akan menyukai hadiah yang akan ia persembahkan padanya nanti. Bagaimana jika Mugai menolaknya dan malah membencinya karena hadiah itu. Saking galaunya dia, sampai tak menyadari bahwa orang yang menjadi objek kegelisahannya sudah mengetahui keberadaannya.
“menguntit orang lain itu tidak sopan. Bocah Kentang!”
Suara baritone khas orang dewasa itu segera menyadarkan Jinbei dari tingkah dongkolnya. Segera ia berdiri saat mengetahui bahwa penyamarannya sudah terungkap. Jinbei merunduk dalam, gugup kini menguasainya.
“Mu-Mugai-dono! Ma-maafkan kelancanganku! A-aku tidak bermaksud...”
“kau membuntutiku seharian. Lalu apa maksudnya itu?”
“ma-maafkan aku! A-aku akan segera pergi!”
“jika ada yang ingin kau katakan. Katakan saja. Bocah Kentang!”
“ba-baiklah! A-aku ingin mengucapkan, selamat ulang tahun untuk anda, Mugai-dono! Erm...”
Jinbei terdiam sejenak, pikirannya melayang pada apa yang hendak dikatakannya selanjutnya. Wajahnya memerah dengan sikap yang sangat aneh. Matanya melirik tak tenang sekeliling, membuat Mugai yang menikmati pemandangan itu melengkungkan senyum simpul.
“hanya itu?”
“u-uhm..., aku ingin memberikan anda hadiah. Tapi entahlah apa itu akan membuat anda senang atau tidak.”
“hmm?”
“aku mendengar dari Kotori-dono bahwa, anda sangat menghargai sesuatu yang diserahkan sepenuh hati. Karena itu terkesan sangat penting.”
Mugai hanya mengangguk kecil. Dalam hati, ia mengutuk Kotori karena telah mengarang cerita konyol tentangnya. Bayangan Kotori yang dilemparkan kedalam sarang serangga raksasapun terlintas dikepalanya.
“ja-jadi. Aku ingin memberikan sesuatu yang seperti itu.”
“apa itu?”
“aku akan memberikan diriku untuk anda, Mugai-dono!!”
Jinbei berseru sambil merunduk dalam-dalam. Dalam hati, ia sempat merutuki kalimat yang dilontarkannya. Kacau sekali, karena rasa malu yang dialaminya, ia sampai tak sadar akan apa yang telah ia katakan. Tanpa ia ketahui, raut wajah Mugai menyiaratkan keterkejutan. Ia tak menyangka samurai muda yang mengganggu pikirannya belakangan ini akan mengatakan hal seperti itu di hadapannya pas dihari yang tidak disukainya. Dalam hati, Mugai mengeluarkan hari ulang tahunnya dari black list dan meletakkannya di rentetan hal yang disukainya. Semua karena bocah kentang itu. Jinbei.
Beberapa saat kemudian, Jinbei mengangkat wajahnya. Rona merah masih bersarang di kedua belah pipinya. Matanya menatap ke arah lain, tak sanggup menatap mata Mugai yang sedari tadi tak melepas pandang darinya.
“a-apakah anda senang dengan itu? Ku-kurasa anda pasti tidak suka. Maafkan aku karena berkata yang tidak-tidak! Aku permisi!”
Air mata penyesalan dan rasa malu hampir merembes di pelupuk mata Jinbei saat berbalik hendak meninggalkan Mugai. Tapi tiba-tiba tubuhnya diam membeku saat ia merasakan tubuh lain menempeli dan memeluk erat tubuhnya. Jinbei sangat terkejut sampai lupa caranya bergerak. Mugai memeluknya dengan erat sekarang.
“Mu-Mugai-dono?”
“sudah berani mengatakan hal seperti itu dan malah pergi? Kau ini benar-benar masih bocah. Kau harusnya bertanggung jawab.”
“eh?”
Dalam sekali gerakan, Mugai membalikkan tubuh Jinbei hingga keduanya berhadapan. Dengan gerakan cepat, Mugai mengeliminasi jarak antaranya dan samurai muda itu. Sepasang bibir lembut Mugai menyentuh bibir mungil Jinbei. Jinbei lupa cara bernapas sekarang. Kejadian ini terlalu mengejutkan baginya hingga ia tak sadar bahwa sedang melakukan hal intim bersama orang yang sangat dikaguminya.
Jinbei gelagapan. Wajahnya memerah sempurna, mulutnya membuka menutup seperti ikan. Pikirannya menjadi kacau akibat tindakan nekat Mugai padanya.
“Mu-Mu-Mu-Mugai-dono!!!??????”
“manis sekali.”
“e-eeeh??!!”
Mugai seperti orang kelaparan yang tidak sabar menunggu giliran sembako. Ia menarik kerah yukata milik Jinbei hingga pangkal leher hingga bahunya terlihat. Mata Mugai berkilat. Tanpa permisi, segera ia kecup batang leher Jinbei. Kedua tangan kekarnya ia gunakan untuk menahan kedua pergelangan tangan si samurai muda. Jinbei mendesah dalam pelukan Mugai. Ia sendiri cukup panik dengan keadaan yang menimpanya.
Jinbei berusaha dengan sekuat tenaga, mendorong dan melepaskan ciuman Mugai yang mulai menghilangkan akal sehatnya. Mugai mendecih kesal saat pekerjaannya diintrupsi. Ia menatap sayu Jinbei yang terengah-engah karena perbuatannya.
“kenapa?”
Jinbei mendongak, matanya sarat akan kebingungan. Bingung dengan pertanyaan ambigu bin tidak jelas Mugai yang baru saja terlontar dari bibir yang mencicipinya barusan.
“ke-kenapa maksudnya? Ma-maafkan aku, aku sama sekali tidak mengerti dengan yang anda lakukan, Mugai-dono! Ada apa ini?”
Berusaha berdiri tegap meskipun kakinya agak gemetaran. Jinbei memperbaiki yukatanya yang berantakan akibat ulah tangan-tangan nakal Mugai.
“kenapa kau menolakku?”
“eh?”
Menolak apa maksudnya?! Jika ia terpaksa harus menolak semua ini karena keadaan yang sama sekali tidak diprediksinya, maka jawabannya adalah iya. Siapa yang tidak terkejut tiba-tiba di serang seperti itu?!
“bukankah tadi kau bilang untuk menyerahkan dirimu padaku? Lalu kenapa kau menolakku?”
“eeh?!! I-itu, kupikir anda mengartikannya dengan cara yang salah!”
“lalu, siapa yang menyuruhmu?”
“Kotori-dono.”
“kenapa kau memakai yukata biasa?”
“ini karena Kotori-dono.”
“apa semua ini ulah Kotori?”
“ya, Kotori-dono.”
Mugai terdengar menghela napas. Jinbei jadi merasa sedikit bersalah. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, keadaan yang menghampirinya terlalu tiba-tiba. Wajahnya memerah, detak jantungnya meningkat, napasnya tak beraturan. Mugai memperhatikan setiap perubahan fisiologis yang terjadi pada samurai yang sudah mencuri hatinya itu. Beberapa saat kemudian, Mugai mendekati Jinbei. Samurai itu mengalihkan pandangannya.
Mugai membelai surai hitam samurai itu. Lembut sekali. Pikir Mugai. jinbei hanya terdiam ketika Mugai membelai kepala dan wajahnya. Ia tak ingin membohongi diri, bahwa ia juga menikmati sentuhan orang itu.
“apa kau takut?”
“eh?!”
Jinbei segera menatap Mugai. Kata ‘takut’ itu menyentakkannya. Ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini oleh seseorang. Terlebih orang itu adalah lelaki. Jika ia sedang memegang pedang, sepertinya ia akan segera melepaskan jurus Palu Gunung Fuji pada orang itu. Tapi Mugai berbeda.
“bu-bukan begitu..., ma-maafkan aku, Mugai-dono! Aku hanya terkejut saja. Kurasa.”
Mugai tersenyum. Tangan yang tadi digunakan membelai wajah samurai muda itu kini menangkup wajahnya, membuat wajah itu mendongak hingga bertemu pandang dengannya. Mata itu, mata yang selalu berkilat akan semangat seperti matahari. Entah sejak kapan Mugai menyukainya. Betapa cantiknya.
Ciuman kembali mendarat di bibir mungil samurai muda itu. Namun kali ini tak ada perlawanan sedikitpun. Jinbei hanya diam, menikmati gerakan bibir dan lidah Mugai yang menyentuh bibirnya. Tangan Mugai tak lagi menangkup wajah Jinbei, beralih memeluk pinggang bocah kentang kesayangannya. Di sela ciuman itu, Jinbei mendesah pelan sambil menyamankan posisinya dalam ciuman itu.
4 menit berlalu untuk ciuman itu, Jinbei agak kelabakan mencari pasokan udara. Yukata yang dikenakannya berantakan, tapi sama sekali tak ia perdulikan lagi. Matanya yang biasanya berbinar penuh semangat kini tertutupi kabut nafsu. Saat ia berbalik mencari sosok Mugai, tiba-tiba tubuhnya terasa melayang. Seseorang menggendongnya ala bridal. Mugai tersenyum sambil menatap wajah sayu bocah kesayangannya. Wajah Jinbei memerah malu.
“apa sekarang kau sudah menerimaku?”
“eh?”
“bagaimana?”
Jinbei tak menjawab, ia malah menyembunyikan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Jinbei tak memahami perasaan yang tengah ia miliki sekarang. Semuanya terasa meletup-letup seperti kembang api. Dan rasanya begitu nyaman hingga ia tak ingin merasakan hal lain lagi. Setiap sentuhan yang diterimanya dari pria itu terasa seperti sengatan listrik.
“lakukan sesuka anda.”
Jinbei menjawab sepelan mungkin, tetapi setidaknya itu masih mampu ditangkap oleh pendengaran Mugai. Mantan Pemburu Serangga itu tersenyum senang. Ia kini tahu bahwa ada hal yang bisa menyenangkannya lebih dari berburu dan menghancurkan serangga. Bocah kentang kesayangannya adalah jawaban semuanya.
Suara parau Jinbei berdengung di dalam kamar Mugai beberapa menit berikutnya. Semua suara itu seperti alunan lagu enka di telinga Mugai hingga ia ingin terus mendengarnya dan tak ingin menghentikannya.
“Mu-Mugai-dono...!! aahh...!!!”
“sedikit lagi, bocah kentang!”
Gerakan Mugai semakin cepat, ia tak lagi memperhatikan temponya sejak 10 menit yang lalu. Rasa nikmat yang menjalari tubuhnya terlalu sulit untuk dikendalikan bahkan baginya sekalipun. Ia tak pernah menyangka tubuh mungil di bawahnya sekarang begitu nikmat hingga terasa sampai ke ubun-ubunnya.
“aah! Ah! Aahh!! Mugai-dono!”
Tangan mungil Jinbei mencengkram bahu telanjang Mugai, menahan sakit dan nikmat yang bersumber dari bagian bawah tubuhnya. Ia sudah menolak semua akal sehatnya, orang yang memerangkapnya kini sudah memenangkan semua darinya, hatinya, perasaannya, dan tubuhnya, semua hanya milik Mugai.
Jinbei mendesah panjang saat tak bisa menahan semburan cairan dari bagian bawah tubuhnya. Cairan itu membasahi tubuhnya dan tubuh Mugai yang masih terus bergerak di bawahnya.
Mugai melenguh berat saat tubuhnya bergetar acak saat menerima friksi puncak kenikmatan yang diinginkannya. Seluruh cairan kental itu tumpah di dalam tubuh mungil samurai yang terbaring lemas di bawah tubuhnya. Napas Jinbei terengah, Mugai roboh diatas tubuhnya, menutupi tubuh telanjang itu sepenuhnya dengan raga telanjang yang lebih besar. Futon yang mereka pakai sudah tak berbentuk, lengket dan sedikit berbau.
Mugai menahan tubuhnya dengah kedua sikunya, menatap lembut wajah samurai muda yang sudah merebut hatinya. Wajah manis itu terlihat memesona dengan ekspresi lelah yang ketara. Mugai menghela napas. Ia mendudukkan tubuhnya, matanya tak lepas memerhatikan tiap inchi tubuh yang masih terbaring di bawahnya.
“hei, bocah kentang.”
Jinbei membuka matanya saat mendengar ‘panggilan sayang’ dari Mugai. Ia mendapati sosok orang yang selalu disukainya itu tersenyum lembut padanya.
“Mu-Mugai-dono...”
Mugai merendahkan tubuhnya, memilih untuk lebih dekat pada bibir yang menyebutkan namanya. Setelah mengecup bibir mungil itu sebentar, Mugai memeluk tubuh telanjang Jinbei, sambil membisikkan kalimat yang berhasil membuat samurai muda itu terperanggah.
“suki da yo. Tsukishima Jinbei”
Tak ada yang perlu dikatakan olehnya, ia sudah cukup sadar sekarang kira-kira perasaan apa yang dirasakannya sejak beberapa waktu yang lalu pada Mugai. Itu bukan hanya sekadar rasa kagum seperti yang dipikirkannya. Itu adalah perasaan yang jauh lebih privat. Dan ia baru menyadarinya sekarang.
“Mugai-dono...”
“mulai sekarang, kau milikku. Jangan pernah pergi dariku.”
“hehe..., anda sendiri, bagaimana? Bukankah membantai serangga itu lebih menyenangkan?”
“aku tidak tahu sejak kapan kau menggantikan posisi kegiatan kesukaanku.”
Wajah Jinbei memerah saat mendengar jawaban jujur Mugai, membuat detak jantungnya semakin kencang. Wajahnya bertambah merah saat menyadari tangan-tangan Mugai mulai mengerayangi tubuh bagian bawahnya. Untuk selanjutnya, lenguhan Jinbei kembali terputar seperti kaset rusak hingga pagi.
“ugh..., Jinbei-kun, ternyata tidak buruk juga saat di kasur. Mugai-san sepertinya sudah tidak bisa menahan diri lagi. Tapi menurutku ini terlalu vulgar. Aku sebaiknya berhenti menguping.”
Diatas atap kamar Mugai, sosok Kotori Matsunohara mati-matian menahan cairan merah yang terus keluar dari hidungnya akibat kegiatan live action MugaJin yang baru saja diamatinya sejak 40 menit yang lalu. Ia harus segera mencari toilet, dampak rencananya terlalu besar baginya. Ia tak menyangka Mugai begitu terang-terangan dan mengerayangi Jinbei seperti miliknya sendiri. Kotori sedikit mengutuk diri.
“cerita ini berjalan dengan baik melebihi target rencana. Ha-haha-hahaha...”
Tawa aneh Kotori memenuhi toilet markas besar Mushibugyo, untung saja sekarang sudah lewat jam tidur. Ia tidak perlu khawatir.
Pada akhirnya, ia bermain dengan sesuatu yang tak seharusnya ia lakukan mungkin. Tapi ini berlangsung lebih baik. Dan selesai dengan baik pula. Tidak sia-sia jiwa fudanshinya ia pelihara sejak kecil. Kha-kha-kha!!

FIN