MUSHIBUGYO
BIRTH DAY
IN LOVE
Genre:
romance, friendly, Sho-ai
Pair: Mugai
x Jinbei
Rating:
semi-M
Disclaimer to: Hiroshi Fukuda-sensei
Sumarry:
Hari ulang
tahun Mugai adalah hari istimewa bagi Tsukishima Jinbei. Dengan sedikit
dorongan dari Kotori dan informasi dari Koikawa, Tenma, juga Hibachi, samurai
muda itu menyerahkan semua yang ada pada dirinya pada Mugai sebagai hadiah.
Maksud dari semua yang ada pada dirinya adalah seperti bisnis prostitusi.
Tanah tua negeri sakura bersinar
diterpa mentari pagi. Edo nampak memukau dengan kilauan surya diatasnya,
ibukota Jepang ini terus berkembang diambang zaman, berusaha beradaptasi dengan
evolusi dunia.
Di zaman ini, Edo di teror oleh
wabah monster yang mengerikan. Serangga berukuran raksasa berkeliaran bebas
ditanah-tanah ibukota Edo, membunuh dan memangsa manusia yang tinggal di
dalamnya. Alasan kemunculan mereka masih tak diketahui.
Menanggapi wabah mengerikan ini,
pemerintahan Edo mengutuskan dibentuknya organisasi khusus untuk membasmi
serangga-serangga raksasa itu. Berbagai konspirasi bermain di dalam
pemerintahan hingga dibentuklah organisasi tersebut. Mushibugyo, adalah
departemen khusus berisi orang-orang dengan kemampuan spesial yang dirancang
untuk membunuh dan mengalahkan serangga raksasa yang meneror Edo.
Mushibugyo dipimpin oleh seorang
yang disebut Mentri Serangga. Semua keputusan diambil berdasarkan arahannya.
Organisasi Mushibugyo sendiri dijalankan oleh beberapa orang yang memiliki
kemampuan luar biasa. Orang yang menjadi perwakilan dari Mentri Serangga diberikan
wewenang khusus sebagai pimpinan asosiasi.
“Oyaho gozaimasu, Tenma-dono!”
Suara brisik dari sapaan seorang
samurai muda bernama Tsukishima Jinbei menggelegar di depan kamar Ichinotani
Tenma, seorang Onmyoji muda dengan bakat luar biasa. Pintu kayu yang membatasi
dunia luar dengan bagian dalam kamar itu terbuka. Seorang anak laki-laki dengan
potongan rambut mangkuk keluar sambil mengucek matanya. Nampak dia tidak senang
dibangunkan dengan suara Jinbei.
“aa-ah..., Jinbei-san. Ohayo...”
“Tenma-dono! Bisakah anda ikut
latihan bersamaku hari ini?”
“eeh? Kenapa?”
“aku harus bertambah kuat untuk
membalas budi Mugai-dono! Saat berkunjung ke rumah Kawashima-dono kemarin, aku
hanya menjadi seorang penghalang bagi Mugai-dono. Aku harus melatih tubuhku
agar bisa bersanding dengan Mugai-dono!!”
Mata berapi-api dan latar letusan
gunung berapi menjadi background
semangat Jinbei, membuat silau penglihatan Tenma. Pintu kamar Tenma tertutup.
Jinbei melongo diluar. Ini sudah yang ketiga kalinya dia ditolak ajakannya oleh
yang lain. Pertama adalah gadis Ninja spesialis peledak, Hibachi, lalu pria
yang memotong semuanya bahkan dengan gergaji, Koikawa. Semangatnya terasa pudar
sedikit demi sedikit.
Jinbei berjalan lunglai kearah
halaman tengah lingkungan asosiasi Mushibugyo. Inderanya menangkap sosok yang
berjalan ke arahnya. Pria tinggi dengan rambut putih yang panjang dan wajah
tampan. Tangan kanannya tak pernah lepas menggenggam senjata besar yang
digunakannya untuk menghancurkan serangga yang ia temui. Jinbei berhenti melangkah,
menatap lekat sosok Mugai dengan sedikit lesu.
“o-ohayo, Mugai-dono.”
Sapaannya begitu lemah tak
bertenaga. Melihat sosok Mugai yang berdiri tegak di hadapannya membuat ia
merasa tidak bisa menggerakkan tubuh. Orang itu begitu kuat dan berani, ia
seperti tak ada apa-apanya dibanding sosok Mugai yang tengah berhenti
menatapnya sekarang.
“ada apa?”
Mugai bertanya dengan aksen datar
khasnya. Jinbei tersadar dari pergulatan intrapersonalnya. Ia fokus menatap
Mugai, wajahnya memerah, lalu tertunduk mencari alasan.
“ti-tidak. Aku hanya sedang mencari
teman latihan untuk bisa lebih kuat lagi. Aku harus bisa menjadi orang yang
bisa anda andalkan, Mugai-dono! Suatu hari nanti, aku akan membalas budi
kepadamu! ”
Tatapan meluap-luap oleh semangat
dilemparkan sang samurai muda kearah mata Mugai. Sedikitnya, itu menyentuh
perasaan Mugai. Sedikit senyum yang tak ketara melengkung d bibir Mugai. Tangan
besar itu melayang dengan sendirinya, lalu meraih puncak kepala sang samurai
muda. Mengacak pelan surai diatas kepala dengan wajah yang manis. Jinbei hanya
tertegun.
Mugai kembali melangkah
meninggalkan Jinbei setelah mengusap kepalanya. Jinbei menatap punggung Mugai
sambil memegangi kepalanya yang diusap oleh tangan besar Mugai. Wajahnya
memerah. Sambil tersenyum, ia merunduk dalam kearah Mugai yang tak berbalik
sedikitpun. Tapi tanpa diketahui oleh si Samurai muda, mata Mugai melirik
sekilas kearahnya.
Jinbei berlatih seorang diri di
halaman tengah istana, pagi yang cukup sibuk baginya. Maksudku, terkalah apa
yang dilakukannya dengan sebuah kayu panjang yang diselimuti oleh 3 buah batu
besar sebagai pemberat. Itu caranya melatih lengan dan yunan tangannya saat
memegang Samurai miliknya. Beberapa orang menganggapnya berlebihan, seperti
Hibachi misalnya. Gadis peledak itu lebih suka melempar bom rancangan
terbarunya pada Jinbei daripada harus membantunya berlatih.
“oi, Tsukishima!!”
Suara merdu gadis peledak itu
menggelegar di telinga Jinbei, perhatian samurai muda itu langsung teralihkan
ke sosok Hibachi yang berlari kecil ke arahnya. Jinbei menghentikan ayunannya.
“ada apa, Hibachi-dono?”
“ne, bisakah kau menemaniku belanja
sebentar? Aku sudah mengajak Tenma, tapi sepertinya dia agak sibuk. Kau mau
kan?”
“hmm..., baiklah kalau begitu.
Tunggu sebentar, Hibachi-dono!”
Jinbei melemparkan bahan latihannya
kesembarang arah sehingga menimbulkan bunyi bedebam. Ia menatap Hibachi sambil
tersenyum senang. Sedikitnya, gadis peledak merasa bersalah karena mengajak
samurai muda itu untuk menemaninya sementara tadi ia menolak mentah-mentah
ajakannya untuk latihan bersama. Dalam hatinya, ia berpikir untuk menebus
kesalahannya dengan membiarkan Jinbei mencoba bom buatan terbarunya.
“Hibachi-dono?!”
Karena terlalu larut dalam
khayalannya yang entah bertujuan baik atau buruk, Hibachi sampai lupa untuk
segera pergi. Seruan Jinbei menyadarkannya segera.
Keduanya berjalan dengan santai di
area pemukiman Edo, melirik beberapa toko perlengkapan. Hibachi beberapa kali
singgah di toko tertentu, namun keluar dengan tangan kosong. Jinbei agaknya penasaran
dengan sesuatu yang hendak dibeli oleh Hibachi.
“na, Hibachi-dono. Benda seperti
apa yang akan anda beli?”
Tutur kata Jinbei sopan seperti
biasanya, tapi bentuk pertanyaan itu sedikit membuat Hibachi kesal dan malu. Ia
tak ingin terlihat begitu feminin di hadapan orang lain. Kecuali di hadapan
orang itu. Pria yang sudah merebut hatinya sejak pertama kali bertemu. Mugai.
“ha-haah?! I-itu bukan urusanmu,
bodoh! Aku hanya memintamu untuk menemaniku kan? Jangan menanyakan hal lain!”
Jinbei swetdrop dibuatnya, dengan
melongo ia hanya berpikir tentang sesuatu yang memalukan. Sesuatu yang mampu
membuat wajah Hibachi semerah itu. Tapi ia menghentikan rasa penasarannya. Atau
lebih menekannya.
“a-aah, baiklah kalau begitu.”
Keduanya berjalan lagi, kembali singgah
di sebuah toko. Kali ini, adalah sebuah toko aksesoris. Jinbei seperti
sebelumnya, hanya menunggu di luar. Saat sedang bersenandung dengan senangnya,
mata samurai muda itu menangkap sosok yang familiar. Segera ia berjalan menyapa
orang itu dengan cepat.
“Oharu-dono! Ohayo gozaimasu!!”
Seorang gadis berkimono pink dengan
dada yang besar berhenti dan menatap Jinbei. Senyum merekah di bibirnya saat
mendapati Jinbei sedang merunduk dalam di hadapannya.
“aah, Jinbei-sama, ohayo
gozaimasu!”
“Oharu-dono, anda ingin kembali ke
kedai?”
“um! Jinbei-sama sendiri, sedang
apa di sini?”
“aah..., aku hanya menemani
Hibachi-dono membeli sesuatu. kalau begitu, sampai jumpa!”
“baiklah. Sampai jumpa.”
Gadis itu, Haru, melangkah menjauh
sambil melambai pada Jinbei. Jinbei kembali ke depan toko yang tadi mereka
singgahi. Tepat saat itu juga, Hibachi keluar dari toko tersebut. Seperti
biasa, tak ada yang dipegangnya.
“eh? Hibachi-dono, anda belum
menemukan benda yang anda cari?”
“aku sudah menemukannya. Ayo,
kembali.”
“baiklah!”
Keduanya berjalan kembali ke kantor
Mushibugyo. Di tengah perjalanan, rasa bersalah yang sempat dirasakan oleh
Hibachi tadi pagi muncul kembali. Itu membuatnya ingin segera melunasi
hutangnya karena telah mengajak Jinbei menemaninya belanja selama 3 jam lebih.
“na-naa, Tsukishima.”
“hm? Ada apa, Hibachi-dono?”
“a-akan kuperjelas, ini bukan
karena aku merasa berhutang atau apa ya! Aku hanya ingin berterima kasih karena
sudah menemaniku berbelanja. Akan kujawab satu pertanyaanmu.”
“uwaahh..., benarkah itu,
Hibachi-dono?!”
Jinbei menatap Hibachi dengan mata
berbinar. Sementara gadis itu hanya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak
ingin memperlihatkan wajah merahnya pada Jinbei.
“tentu. Jadi cepatlah bertanya!”
“baiklah! Kalau begitu, aku ingin
tahu apa yang Hibachi-dono beli!”
Sebuah pukulan keras mendarat di
puncak kepala Jinbei, samurai muda itu meringis merasakan sakit di kepalanya.
“aku akan menjawab pertanyaan lain
asal jangan yang itu!!”
“ke-kenapa?!”
“itu rahasia bodoh! Tanyakan yang
lain!”
“ba-baiklah. Mungkin, alasan
Hibachi-dono membeli hadiah itu?!”
Hibachi berhenti melangkah.
Wajahnya memanas sempurna. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu karena ia
berpikir bahwa Jinbei pasti menebak bahwa apa yang dibelinya sudah pasti adalah
sesuatu yang berhubungan erat dengan jawaban pertanyaan itu. Tapi ia juga telah
berjanji untuk menjawab pertanyaan samurai muda itu.
Hibachi menghela napas panjang. Ia
menetralkan warna wajahnya sejenak.
“kau masih anak baru. Jadi kau
tentu belum mengetahui ini.”
“hmm?”
“3 hari lagi, Mugai-san akan
berulang tahun. Orang-orang tida merayakannya, karena Mugai-san tidak menyukai
pesta. Jadi yang lain hanya memberikannya hadiah.”
Hening diantara mereka. Setelah
kalimat panjang itu keluar dari mulut Hibachi, tak ada sedikitpun suara dari
Jinbei. Gadis itu beralih menatap Jinbei. Ia melihat raut keterkejutan di wajah
samurai muda itu. Hibachi terheran.
“Tsukishima?!”
“huwaaaa!!!! Be-benarkah itu,
Hibachi-dono?!!”
“y-ya, benar. Bisakah kau tenang
sedikit?”
“aku tidak bisa tenang sekarang! 3
hari lagi adalah ulang tahun Mugai-dono, dan aku belum melakukan apapun
untuknya! Aku harus mencari hadiah untuknya! Hibachi-dono, bisakah anda kembali
sendiri? Aku ingin mencari hadiah untuk Mugai-dono!”
“a-aah, baiklah.”
“yosha!! Mugai-dono!!!!!!!”
Dengan sekuat tenaga Jinbei berlari
kembali ke daerah pemukiman padat penduduk, mencari sesuatu yang disebut hadiah
untuk diberikannya pada Mugai yang faktanya akan ulang tahun 3 hari lagi.
Sedikitnya, Hibachi iri dengan sifat pemuda samurai itu. Dia sangat berterus
terang dan tidak menyembunyikan apapun. dan kenyataan bahwa tingkat
kepolosannya itu malah membuatnya terlihat bodoh. Tapi selain itu, Jinbei
adalah tipe orang pekerja keras. Pasti banyak orang menyukainya. Setidaknya
itulah yang dipikirkan Hibachi sambil kembali ke markas Mushibugyo.
Jinbei berjalan terburu mencari
toko untuk hadiah yang hendak ia berikan kepada Mugai. Namun, ia mendapatkan
kendala yang sangat besar. Ia tidak tahu hadiah seperti apa yang bisa
diberikannya pada Mugai. Pria itu adalah sebuah keberadaan yang luar biasa
menurut Jinbei, akan sangat tidak pantas jika memberikannya hadiah yang
biasa-biasa saja padanya. Jinbei merengut, sesekali ia menendang batu yang
dilihatnya tergeletak di tanah. Kesal dan sedikit sedih.
“ara, Jinbei-san? Irashaimasen!”
Suara lembut Haru menghentikan
langkah kaki Jinbei, ia menghadap ke kanan. Didapatinya warung makan Haru di
sana, dengan gadis berdada besar itu di depannya sedang menyambut tamu seperti
biasa.
“aah, Oharu-dono! Konichiwa de
gozaimasu!”
Jinbei merunduk dalam kearah Haru,
gadis itu tersenyum senang.
“silahkan masuk, akan kubuatkan
beberapa dango untukmu.”
“aah, kurasa aku tidak bisa
menerimanya sekarang, Oharu-dono.”
“hmm? Kenapa?”
“aku sedang mencari hadiah.”
“hadiah?”
“ya. Mugai-dono akan berulang tahun
3 hari lagi, aku ingin memberikannya hadiah. Tapi aku tidak tahu hadiah seperti
apa yang diinginkannya. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa.”
Wajah memelas Jinbei mengundang
senyum di bibir Haru. Gadis itu berpikir sebentar. Kemudian ia menemukan ide.
“kenapa tidak menanyakan pada
anggota Mushibugyo yang lain, Jinbei-san?”
“eh?”
“hmm..., kurasa, karena mereka
lebih lama bersama Mugai-san, sepertinya mereka akan tahu apa yang Mugai-san
sukai. Bagaimana?”
“ah! Arigatou gozaimasu,
Oharu-dono!! Aku tidak memikirkan itu sebelumnya. Kalau begitu, sampai jumpa,
Oharu-dono!”
“baiklah. Sampai jumpa.”
Jinbei berlari sekuat tenaga menuju
ke markas besar Mushibugyo, berharap dapat menemukan beberapa orang yang bisa memberinya
petunjuk soal apayang ingin diketahuinya. Beberapa kali ia membuka tutup
beberapa pintu ruangan sambil menyerukan nama yang ia ketahui seharusnya berada
di sana. Sampai ia berhenti di halaman belakang markas, ia menemukan salah
satunya.
Koikawa sedang asyik bermabuk ria
di bawah naungan pohon. Cawan arak bertengger manis di tangannya, beberapa kali
ia terlihat bersenandung dan cegukan. Mabuk di siang hari.
“Koikawa-dono!!!”
Suara cempreng Jinbei menyadarkan
Koikawa segera dari pengaruh alkoholnya. Entahlah, ia bisa mabuk-mabukan dengan
puluhan gentong arak. Tapi suara samurai muda itu selalu membuatnya tidak bisa
mabuk dan segera sadar kembali. Pria yang dikenal sebagai pembunuh 99 itu
menatap heran Jinbei yang terlihat sangat bersemangat.
“aah. Ada apa, anak baru?”
“Koikawa-dono! Aku ingin menanyakan
sesuatu, jika berkenan, maukah andamendengarnya?!”
“hmm? Tanyakan. Akan kujawab jika
bisa.”
“arigatou gozaimasu, Koikawa-dono!”
Koikawa tak bisa menahan senyumnya
saat melihat wajah antusias samurai muda itu. Pemuda pendek itu punya cara
sendiri untuk membuatnya menghiraukan sekeliling dan hanya memusatkan perhatian
padanya. Padahal anak itu bodoh. Begitu pikir Koikawa.
“lalu, pertanyaanny?”
“ano..., begini. Aku baru tahu dari
Hibachi-dono tadi pagi. 3 hari lagi, adalah ulang tahun Mugai-dono. Aku ingin
tahu hadiah seperti apa yang biasa kalian berikan untuknya?!”
Koikawa mendecih. Baru kali ini ia
merasa terganggu dengan wajah bersemangat. Perasaan mengganggu apa ini? Untuk
apa dia melakukan hal seperti ini hanya untuk si Mugai itu? Hal tidak berguna
seperti ini.
“aku tidak tahu!”
Koikawa menjawab ketus sambil
memalingkan wajahnya ke arah lain. Takut jikalau nanti ia akan menjawab pertanyaan
itu karena tak sanggup melihat wajah memohon Jinbei.
“heeh..., kenapa?! Koikawa-dono!
Tolong beritahu aku! Koikawa-dono!! Ayolah, akan kulakukan apapun untukmu!!”
Gotcha! Kalimat itu baru saja
membuat Koikawa tersengat aliran listrik ringan. Ia tengah berpikir untuk
melakukan hal aneh pada Jinbei sebagai ganti untuk jawaban yang diinginkan
pemuda samurai itu.
“baiklah. Sebagai gantinya, kau
harus melakukan satu perintah dariku.”
“um! Baiklah! Akan kulakukan!”
“kau ini benar-benar menarik.”
Koikawa terdiam sejenak, mencoba
mengulang kejadian beberapa waktu yang lalu saat perayaan ulang tahun Mugai.
Seingatnya, tidak pernah ada perayaan untuk itu. Itu karena Mugai tidak
menyukai perayaan atau semacamnya.
“aku hanya mengajaknya minum, lalu
Hibachi akan datang dengan tumpukan makanan. Tapi kemudian pria itu pergi dan
sampai besok baru bertemu kembali. Dia selalu seperti itu.”
“benarkah?”
“um. Nah, karena pertanyaanmu sudah
kujawab. Sekarang saatnya kauuntuk menuruti perintahku.”
“baiklah. Apa itu, Koikawa-dono?”
“pertama, kau harus-“
“Jinbei-saan!!!!”
Suara Tenma yang melengking di
sekitaran area itu mengintrupsi kegiatan yang sedang dilakukan oleh kedua
pemuda itu. Terutama Koikawa. Jinbei lebih fokus pada namanya yang menjadi
objek teriakan itu. Jinbei segera berdiri dari tempatnya, mencoba menemukan sosok
Tenma.
“ah, sumimasen, Koikawa-dono! Bisa
kita lanjutkan nanti?”
Tanpa menunggu jawaban si pembunuh
99 itu, Jinbei langsung melesat pergi mencari Tenma. Koikawa melongo di
tempatnya, dalam hati ia mengutuk bocah bernama Ichinotani Tenma karena telah merusak
kesempatannya berduaan dengan samurai tercintanya.
Jinbei menemukan sosok Tenma di
tengah halaman markas. Anak itu terlihat sedang bingung. Jinbei menghampiri
bocah itu.
“ada apa, Tenma-dono? Anda terlihat
kebingungan.”
“um! Maaf memanggilmu sekarang,
Jinbei-san. Aku ingin meminta tolong.”
“um? Apa itu?”
“tadi, saat latihan. Aku kehilangan
Tamekichi. Aku sedang mencarinya, tapi dari tadi tidak ketemu. Apa kau bisa
membantuku?”
“osu! Tentu saja! Aku, Tsukishima
Jinbei, akan membantu anda untuk menemukannya!”
“um. Terima kasih. Aku jadi merasa
tidak enak karena tadi pagi menolak ajakanmu.”
“tidak perlu dipikirkan. Ah,
Tenma-dono. Bukankah akan lebih mudah jika membuat Tamekichi menjadi besar?
Bukankah anada bisa melakukannya?”
“um! Tapi, resikonya terlalu besar.
Aku tidak tahu dia berada di mana. Jika sampai aku menjadikannya besar
sementara ia berada di tempat publik, itu hanya akan menimbulkan kerusakan yang
tidak perlu. Jadi, aku hanya bisa mencarinya dengan cara ini. Maaf.”
“tidak perlu meminta maaf! Aku
paham situasinya. Aku akan dengan senang hati membantu anda menemukannya.”
Jawaban Jinbei menciptakan
lengkungan senyum di wajah Tenma. Bocah itu merasa bahagia berduaan dengan
samurai muda itu. Maksudnya, hilangnya Tamekichi hanyalah sebuah alasan kosong
supaya ia bisa berduaan dengan Jinbei. Terkadang ia harus merelakan harga
dirinya untuk bersama samurai muda itu. Ia akan menjadi anak ceroboh dan atau
anak yang sangat polos saat bersama Jinbei. Semua itu hanya agar Jinbei
memberinya lebih banyak perhatian. Sejak pertama ia percaya pada Jinbei, ia
sudah menyerahkan semua yang ada dalam dirinya pada Samurai muda itu.
“jadi, Tenma-dono. Kita mulai dari
mana?”
“ah, soal itu. Kita bisa mencari di
bagian belakang markas, karena tadi aku melakukan latihan di sana. Tapi, karena
Tamakichi terbuat dari kertas, dia mungkin diterbangkan angin. Jadi, mungkin
kita harus mencari seluruh bagian markas. Apa bisa?”
“hmm..., tentu saja! Aku,
Tsukishima Jinbei akan membantu Tenma-dono! Ayo kita cari!”
“um!!”
Wajah bahagia Tenma dihiasi rona
merah. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri bertambah cepat karena berada
di dekat Jinbei. Tapi, ia sama sekali tak keberatan. Ia bahagia.
Pencarian atas Tamekichi memakan
waktu hingga sore hari. Pada akhirnya, shikigami berbahan kertas mantra itu
ditemukan di balik guci di dalam kamar Tenma. Keduanya bersorak setelah
menemukan Shikigami tersebut, Jinbei menebarka feromon tanpa sengaja dan
berhasil membuat Tenma harus menahan diri untuk memeluk samurai muda tersebut.
Malam harinya, Jinbei berkeliaran
di sepanjang gedung luas bangunan markas Mushibugyo. Wajahnya kebingungan
mencari sesuatu. atau seseorang. Matanya fokus pada seseorang yang muncul
tiba-tiba dari sudut ruangan. Rambutnya hitam legam, dengan kacamata bulat kecil
menggantung diantara hidungnya.
“ah, Kotori-dono!!!”
Suara menggelegar Jinbei segera
membuat fokus pria itu teralihkan pada si samurai muda. Ia berhenti berjalan
dan berdiri berhadapan dengan Jinbei.
“ada apa, Jinbei-kun?”
“Kotori-dono, ada yang ingin kutanyakan
pada anda”
“hm? Apa itu?”
“aku ingin tau, hadiah seperti apa
yang anda berikan kepada Mugai-dono saat ulang tahunnya?”
“hm? Kenapa tiba-tiba?”
“yaah..., 3 hari lagi adalah ulang
tahun Mugai-dono. Aku sendiri tidak tahu hadiah seperti apa yang dia inginkan.
Jadi, setidaknya aku tahu hal seperti apa yang mungkin diinginkannya.”
“ah, benar juga ya. 3 hari lagi
ulang tahun Mugai. Aku baru ingat. Mugai itu tidak menyukai perayaan, jadi dia
lebih suka menyendiri saja. Jika ada yang sempat memberinya hadiah, maka itu
adalah Hibachi. Lalu, Koikawa mungkin akan menraktirnya minum.”
“hhh..., aku masih bingung apa yang
harus kuberikan padanya.”
Kotori berpikir sejenak. Ia
memandang Jinbei dengan seksama. Sedikit pikiran jahil muncul di kepalanya. Ia
membayangkan keadaan dimana Jinbei dengan malu-malu menawarkan diri untuk
menjadi teman latihan Mugai. Ia ingin melihat reaksi pria rambut putih itu.
Pasti menarik menyaksikan ekspresi tak tentu dari Mugai. Jawaban baru saja
keluar dari mesin pencetak di kepalanya.
“hm.., jika dengan Mugai. Sebaiknya
kau memberikan sesuatu yang sangat penting untukmu. Dan kau harus memberikannya
sepenuh hati. Kira-kira seperti itu. Aku yakin, dia akan tersentuh. Aku juga
menyarankanmu untuk memakai Yukata biasa untuk bertemu dengan Mugai nanti.”
“be-benarkah itu, Kotori-dono?!”
Kotori agak terperanggah dengan
wajah antusias Jinbei. Anak itu percaya pada apa yang dikatakannya. Manis sekali.
“yah, begitulah. Kalau begitu,
sampai nanti ya, Jinbei-kun.”
“baiklah, Kotori-dono! Arigatou
gozaimashita!!”
Waktu berlalu, Jinbei memantapkan
pilihan hadiah yang akan ia berikan kepada Mugai. Pada hari yang
ditunggu-tunggunya, Jinbei bersiap dengan segala hal yang ingin ia lakukan. Ia
sudah mengamati Mugai dari sejak pria berambut putih itu keluar dari ruangannya
di sore hari, menerima kado dari Hibachi, kemudian minum bersama Koikawa dan
Kotori. Hingga saat ia hanya sendirian di ruangannya.
Jinbei mengamati kesendirian Mugai
dalam diam, berharap bahwa sosok yang dikaguminya itu tak menyadari
keberadaannya sekarang.
Waktu sudah menunjukkan larut
malam. Bocah samurai itu masih menatapi Mugai yang duduk manis menatap bulan.
Perasaan gusar tiba-tiba menghinggapi hatinya, ia tak yakin apakah Mugai akan
menyukai hadiah yang akan ia persembahkan padanya nanti. Bagaimana jika Mugai
menolaknya dan malah membencinya karena hadiah itu. Saking galaunya dia, sampai
tak menyadari bahwa orang yang menjadi objek kegelisahannya sudah mengetahui
keberadaannya.
“menguntit orang lain itu tidak
sopan. Bocah Kentang!”
Suara baritone khas orang dewasa
itu segera menyadarkan Jinbei dari tingkah dongkolnya. Segera ia berdiri saat
mengetahui bahwa penyamarannya sudah terungkap. Jinbei merunduk dalam, gugup
kini menguasainya.
“Mu-Mugai-dono! Ma-maafkan
kelancanganku! A-aku tidak bermaksud...”
“kau membuntutiku seharian. Lalu
apa maksudnya itu?”
“ma-maafkan aku! A-aku akan segera
pergi!”
“jika ada yang ingin kau katakan.
Katakan saja. Bocah Kentang!”
“ba-baiklah! A-aku ingin
mengucapkan, selamat ulang tahun untuk anda, Mugai-dono! Erm...”
Jinbei terdiam sejenak, pikirannya
melayang pada apa yang hendak dikatakannya selanjutnya. Wajahnya memerah dengan
sikap yang sangat aneh. Matanya melirik tak tenang sekeliling, membuat Mugai
yang menikmati pemandangan itu melengkungkan senyum simpul.
“hanya itu?”
“u-uhm..., aku ingin memberikan
anda hadiah. Tapi entahlah apa itu akan membuat anda senang atau tidak.”
“hmm?”
“aku mendengar dari Kotori-dono
bahwa, anda sangat menghargai sesuatu yang diserahkan sepenuh hati. Karena itu
terkesan sangat penting.”
Mugai hanya mengangguk kecil. Dalam
hati, ia mengutuk Kotori karena telah mengarang cerita konyol tentangnya.
Bayangan Kotori yang dilemparkan kedalam sarang serangga raksasapun terlintas
dikepalanya.
“ja-jadi. Aku ingin memberikan
sesuatu yang seperti itu.”
“apa itu?”
“aku akan memberikan diriku untuk
anda, Mugai-dono!!”
Jinbei berseru sambil merunduk
dalam-dalam. Dalam hati, ia sempat merutuki kalimat yang dilontarkannya. Kacau
sekali, karena rasa malu yang dialaminya, ia sampai tak sadar akan apa yang
telah ia katakan. Tanpa ia ketahui, raut wajah Mugai menyiaratkan keterkejutan.
Ia tak menyangka samurai muda yang mengganggu pikirannya belakangan ini akan
mengatakan hal seperti itu di hadapannya pas dihari yang tidak disukainya.
Dalam hati, Mugai mengeluarkan hari ulang tahunnya dari black list dan
meletakkannya di rentetan hal yang disukainya. Semua karena bocah kentang itu.
Jinbei.
Beberapa saat kemudian, Jinbei
mengangkat wajahnya. Rona merah masih bersarang di kedua belah pipinya. Matanya
menatap ke arah lain, tak sanggup menatap mata Mugai yang sedari tadi tak
melepas pandang darinya.
“a-apakah anda senang dengan itu?
Ku-kurasa anda pasti tidak suka. Maafkan aku karena berkata yang tidak-tidak!
Aku permisi!”
Air mata penyesalan dan rasa malu
hampir merembes di pelupuk mata Jinbei saat berbalik hendak meninggalkan Mugai.
Tapi tiba-tiba tubuhnya diam membeku saat ia merasakan tubuh lain menempeli dan
memeluk erat tubuhnya. Jinbei sangat terkejut sampai lupa caranya bergerak.
Mugai memeluknya dengan erat sekarang.
“Mu-Mugai-dono?”
“sudah berani mengatakan hal
seperti itu dan malah pergi? Kau ini benar-benar masih bocah. Kau harusnya bertanggung
jawab.”
“eh?”
Dalam sekali gerakan, Mugai
membalikkan tubuh Jinbei hingga keduanya berhadapan. Dengan gerakan cepat,
Mugai mengeliminasi jarak antaranya dan samurai muda itu. Sepasang bibir lembut
Mugai menyentuh bibir mungil Jinbei. Jinbei lupa cara bernapas sekarang.
Kejadian ini terlalu mengejutkan baginya hingga ia tak sadar bahwa sedang
melakukan hal intim bersama orang yang sangat dikaguminya.
Jinbei gelagapan. Wajahnya memerah
sempurna, mulutnya membuka menutup seperti ikan. Pikirannya menjadi kacau
akibat tindakan nekat Mugai padanya.
“Mu-Mu-Mu-Mugai-dono!!!??????”
“manis sekali.”
“e-eeeh??!!”
Mugai seperti orang kelaparan yang
tidak sabar menunggu giliran sembako. Ia menarik kerah yukata milik Jinbei
hingga pangkal leher hingga bahunya terlihat. Mata Mugai berkilat. Tanpa
permisi, segera ia kecup batang leher Jinbei. Kedua tangan kekarnya ia gunakan
untuk menahan kedua pergelangan tangan si samurai muda. Jinbei mendesah dalam
pelukan Mugai. Ia sendiri cukup panik dengan keadaan yang menimpanya.
Jinbei berusaha dengan sekuat
tenaga, mendorong dan melepaskan ciuman Mugai yang mulai menghilangkan akal
sehatnya. Mugai mendecih kesal saat pekerjaannya diintrupsi. Ia menatap sayu
Jinbei yang terengah-engah karena perbuatannya.
“kenapa?”
Jinbei mendongak, matanya sarat
akan kebingungan. Bingung dengan pertanyaan ambigu bin tidak jelas Mugai yang
baru saja terlontar dari bibir yang mencicipinya barusan.
“ke-kenapa maksudnya? Ma-maafkan
aku, aku sama sekali tidak mengerti dengan yang anda lakukan, Mugai-dono! Ada
apa ini?”
Berusaha berdiri tegap meskipun
kakinya agak gemetaran. Jinbei memperbaiki yukatanya yang berantakan akibat
ulah tangan-tangan nakal Mugai.
“kenapa kau menolakku?”
“eh?”
Menolak apa maksudnya?! Jika ia
terpaksa harus menolak semua ini karena keadaan yang sama sekali tidak
diprediksinya, maka jawabannya adalah iya. Siapa yang tidak terkejut tiba-tiba
di serang seperti itu?!
“bukankah tadi kau bilang untuk
menyerahkan dirimu padaku? Lalu kenapa kau menolakku?”
“eeh?!! I-itu, kupikir anda
mengartikannya dengan cara yang salah!”
“lalu, siapa yang menyuruhmu?”
“Kotori-dono.”
“kenapa kau memakai yukata biasa?”
“ini karena Kotori-dono.”
“apa semua ini ulah Kotori?”
“ya, Kotori-dono.”
Mugai terdengar menghela napas.
Jinbei jadi merasa sedikit bersalah. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang,
keadaan yang menghampirinya terlalu tiba-tiba. Wajahnya memerah, detak
jantungnya meningkat, napasnya tak beraturan. Mugai memperhatikan setiap
perubahan fisiologis yang terjadi pada samurai yang sudah mencuri hatinya itu.
Beberapa saat kemudian, Mugai mendekati Jinbei. Samurai itu mengalihkan
pandangannya.
Mugai membelai surai hitam samurai
itu. Lembut sekali. Pikir Mugai. jinbei hanya terdiam ketika Mugai membelai
kepala dan wajahnya. Ia tak ingin membohongi diri, bahwa ia juga menikmati
sentuhan orang itu.
“apa kau takut?”
“eh?!”
Jinbei segera menatap Mugai. Kata
‘takut’ itu menyentakkannya. Ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini
oleh seseorang. Terlebih orang itu adalah lelaki. Jika ia sedang memegang
pedang, sepertinya ia akan segera melepaskan jurus Palu Gunung Fuji pada orang
itu. Tapi Mugai berbeda.
“bu-bukan begitu..., ma-maafkan
aku, Mugai-dono! Aku hanya terkejut saja. Kurasa.”
Mugai tersenyum. Tangan yang tadi
digunakan membelai wajah samurai muda itu kini menangkup wajahnya, membuat
wajah itu mendongak hingga bertemu pandang dengannya. Mata itu, mata yang
selalu berkilat akan semangat seperti matahari. Entah sejak kapan Mugai
menyukainya. Betapa cantiknya.
Ciuman kembali mendarat di bibir
mungil samurai muda itu. Namun kali ini tak ada perlawanan sedikitpun. Jinbei
hanya diam, menikmati gerakan bibir dan lidah Mugai yang menyentuh bibirnya.
Tangan Mugai tak lagi menangkup wajah Jinbei, beralih memeluk pinggang bocah
kentang kesayangannya. Di sela ciuman itu, Jinbei mendesah pelan sambil
menyamankan posisinya dalam ciuman itu.
4 menit berlalu untuk ciuman itu,
Jinbei agak kelabakan mencari pasokan udara. Yukata yang dikenakannya
berantakan, tapi sama sekali tak ia perdulikan lagi. Matanya yang biasanya
berbinar penuh semangat kini tertutupi kabut nafsu. Saat ia berbalik mencari
sosok Mugai, tiba-tiba tubuhnya terasa melayang. Seseorang menggendongnya ala
bridal. Mugai tersenyum sambil menatap wajah sayu bocah kesayangannya. Wajah
Jinbei memerah malu.
“apa sekarang kau sudah
menerimaku?”
“eh?”
“bagaimana?”
Jinbei tak menjawab, ia malah
menyembunyikan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Jinbei tak memahami
perasaan yang tengah ia miliki sekarang. Semuanya terasa meletup-letup seperti
kembang api. Dan rasanya begitu nyaman hingga ia tak ingin merasakan hal lain
lagi. Setiap sentuhan yang diterimanya dari pria itu terasa seperti sengatan
listrik.
“lakukan sesuka anda.”
Jinbei menjawab sepelan mungkin,
tetapi setidaknya itu masih mampu ditangkap oleh pendengaran Mugai. Mantan
Pemburu Serangga itu tersenyum senang. Ia kini tahu bahwa ada hal yang bisa
menyenangkannya lebih dari berburu dan menghancurkan serangga. Bocah kentang
kesayangannya adalah jawaban semuanya.
Suara parau Jinbei berdengung di
dalam kamar Mugai beberapa menit berikutnya. Semua suara itu seperti alunan
lagu enka di telinga Mugai hingga ia ingin terus mendengarnya dan tak ingin
menghentikannya.
“Mu-Mugai-dono...!! aahh...!!!”
“sedikit lagi, bocah kentang!”
Gerakan Mugai semakin cepat, ia tak
lagi memperhatikan temponya sejak 10 menit yang lalu. Rasa nikmat yang
menjalari tubuhnya terlalu sulit untuk dikendalikan bahkan baginya sekalipun.
Ia tak pernah menyangka tubuh mungil di bawahnya sekarang begitu nikmat hingga
terasa sampai ke ubun-ubunnya.
“aah! Ah! Aahh!! Mugai-dono!”
Tangan mungil Jinbei mencengkram
bahu telanjang Mugai, menahan sakit dan nikmat yang bersumber dari bagian bawah
tubuhnya. Ia sudah menolak semua akal sehatnya, orang yang memerangkapnya kini
sudah memenangkan semua darinya, hatinya, perasaannya, dan tubuhnya, semua
hanya milik Mugai.
Jinbei mendesah panjang saat tak
bisa menahan semburan cairan dari bagian bawah tubuhnya. Cairan itu membasahi
tubuhnya dan tubuh Mugai yang masih terus bergerak di bawahnya.
Mugai melenguh berat saat tubuhnya
bergetar acak saat menerima friksi puncak kenikmatan yang diinginkannya.
Seluruh cairan kental itu tumpah di dalam tubuh mungil samurai yang terbaring
lemas di bawah tubuhnya. Napas Jinbei terengah, Mugai roboh diatas tubuhnya,
menutupi tubuh telanjang itu sepenuhnya dengan raga telanjang yang lebih besar.
Futon yang mereka pakai sudah tak berbentuk, lengket dan sedikit berbau.
Mugai menahan tubuhnya dengah kedua
sikunya, menatap lembut wajah samurai muda yang sudah merebut hatinya. Wajah
manis itu terlihat memesona dengan ekspresi lelah yang ketara. Mugai menghela
napas. Ia mendudukkan tubuhnya, matanya tak lepas memerhatikan tiap inchi tubuh
yang masih terbaring di bawahnya.
“hei, bocah kentang.”
Jinbei membuka matanya saat
mendengar ‘panggilan sayang’ dari Mugai. Ia mendapati sosok orang yang selalu
disukainya itu tersenyum lembut padanya.
“Mu-Mugai-dono...”
Mugai merendahkan tubuhnya, memilih
untuk lebih dekat pada bibir yang menyebutkan namanya. Setelah mengecup bibir mungil
itu sebentar, Mugai memeluk tubuh telanjang Jinbei, sambil membisikkan kalimat
yang berhasil membuat samurai muda itu terperanggah.
“suki da yo. Tsukishima Jinbei”
Tak ada yang perlu dikatakan
olehnya, ia sudah cukup sadar sekarang kira-kira perasaan apa yang dirasakannya
sejak beberapa waktu yang lalu pada Mugai. Itu bukan hanya sekadar rasa kagum
seperti yang dipikirkannya. Itu adalah perasaan yang jauh lebih privat. Dan ia
baru menyadarinya sekarang.
“Mugai-dono...”
“mulai sekarang, kau milikku. Jangan
pernah pergi dariku.”
“hehe..., anda sendiri, bagaimana?
Bukankah membantai serangga itu lebih menyenangkan?”
“aku tidak tahu sejak kapan kau
menggantikan posisi kegiatan kesukaanku.”
Wajah Jinbei memerah saat mendengar
jawaban jujur Mugai, membuat detak jantungnya semakin kencang. Wajahnya
bertambah merah saat menyadari tangan-tangan Mugai mulai mengerayangi tubuh
bagian bawahnya. Untuk selanjutnya, lenguhan Jinbei kembali terputar seperti
kaset rusak hingga pagi.
“ugh..., Jinbei-kun, ternyata tidak
buruk juga saat di kasur. Mugai-san sepertinya sudah tidak bisa menahan diri
lagi. Tapi menurutku ini terlalu vulgar. Aku sebaiknya berhenti menguping.”
Diatas atap kamar Mugai, sosok
Kotori Matsunohara mati-matian menahan cairan merah yang terus keluar dari
hidungnya akibat kegiatan live action MugaJin yang baru saja diamatinya sejak
40 menit yang lalu. Ia harus segera mencari toilet, dampak rencananya terlalu
besar baginya. Ia tak menyangka Mugai begitu terang-terangan dan mengerayangi
Jinbei seperti miliknya sendiri. Kotori sedikit mengutuk diri.
“cerita ini berjalan dengan baik
melebihi target rencana. Ha-haha-hahaha...”
Tawa aneh Kotori memenuhi toilet markas
besar Mushibugyo, untung saja sekarang sudah lewat jam tidur. Ia tidak perlu
khawatir.
Pada akhirnya, ia bermain dengan
sesuatu yang tak seharusnya ia lakukan mungkin. Tapi ini berlangsung lebih
baik. Dan selesai dengan baik pula. Tidak sia-sia jiwa fudanshinya ia pelihara
sejak kecil. Kha-kha-kha!!
FIN