Senin, 12 Mei 2014

JUMPING

JUMPING Part 3

Main Cast: Hey! Say! JUMP member, and view other
Genre: Romance, Friendly, Bishounen, Shounen ai
Rating: T
Pair: author baru dapat beberapa pasang yang cocok. Tapi soal kepuasan reader, author gak jamin, diantaranya NakaYama, TakaDai. 





          Matsumoto-sensei memasuki ruang kelas bersama 3 orang siswa baru itu, mereka terlihat sangat manis, dengan ukuran tubuh dan wajah seperti itu, jika saja mereka berdandan dengan pakaian wanita, tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka itu laki-laki kecuali mereka memperlihatkan bagian intim mereka #plakk..., apa yang kupikirkan? Mereka benar-benar tidak seperti yang kubayangkan, sepertinya image preman seperti anak-anak JUMP itu berjarak sangatlah jauh dari ketiga bocah itu.
Ketika mereka memasuki kelas, seluruh isinya langsung riuh, bergemuruh seperti suara pasar, hanya saja penjualnya tidak menyebutkan barang-barang komersial tetapi menyerukan kata-kata seperti ‘manis’, ‘imut’, bahkan ‘cantik’. Ketiganya berjejer rapih mulai dari yang paling pendek di sebelah kanan, lalu yang lebih tinggi lagi di sebelahnya, kemudian yang (agak) lebih tinggi di ujung.
“hajimemashita, watashi wa Chinen Yuuri desu, douzo yoroshiku onegai ishimasu!” yang pertama memperkenalkan diri adalah anak yang paling pendek dengan gigi kelinci itu. para gadis berteriak kesetanan seolah melihat tulisan ‘setengah harga’ diatas kepala anak bernama Chinen itu (kayak pasar obral aja). Tapi dia memang manis, sekali.
“hajimemasu, watashi no namae wa Yamada Ryosuke desu, yoroshiku minna” ucap bocah yang berdiri di dekatnya sambil menundukkan tubuhnya. Baiklah, aku yakin saat ini para gadis-gadis penggila obralan itu tengah terbius. Kurasa Yamada ini adalah yang paling terlihat manis sekaligus tampan dari kedua yang lain.
“watashi wa Daiki Arioka desu, yoroshiku” anak ketiga memperkenalkan diri, wajahnya seperti sebuah bakpau hangat dengan daging di dalamnya. Kenapa pikiranku mengarah ke situ? Itu disebabkan pipi tembemnya yang terlihat sangat lezat dan mengenyangkan itu. tapi..., entahlah, dia hanya terlihat lebih berbeda dari yang lain.
“baiklah, anak-anak, silahkan mencari tempat duduk” ucap Matsumoto-sensei sambil mempersilahkan ketiga anak itu untuk mencari tempat duduk. Kelas ini sudah cukup penuh, hanya ada 3 susun kursi dan meja di sudut belakang dan tengah, jadi mereka harus duduk di sana. Setelah memastikan keamanan mereka, Matsumoto-sensei segera keluar dari ruangan kelas dan pelajaranpun dimulai.
*JUMPING*
Bunyi dering surgawi bel istirahat menggema memenuhi seluruh ruangan dan sudut sekolah, menyampaikan pesan dari malaikat makan siang untuk segera menyerbu kantin #plakk.
kelas perlahan-lahan mulai kosong, hanya aku dan ketiga anak baru itu di dalam kelas. Aku tidak menoleh ataupun menengok mereka sedetikpun, kedua mataku cukup terpaku pada selembar kertas di atas mejaku. Aku masih akan menulis beberapa kata lagi di atas kertas itu jika saja sebuah suara tidak mengintrupsi kegiatanku itu.
“hai...,” sapanya. Aku menengok, menatap sang biang suara dengan tatapan bingung dan sedikit dongo. Dia bocah Arioka itu, demo, nani?
“doushita?”
“ore wa, Arioka daiki desu, omae wa?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya. Dia sudah menyebutkan namanya tadi, aku masih cukup kuat mengingat itu untuk beberapa jam yang lalu. Kutatap tangan itu sebentar dan kemudian menjabatnya sambil memperkenalkan diri. Bocah itu tersenyum manis sekali. Ara? Tidak, tidak mungkin! Hanya Inoo yang ada di sisiku. Aku tidak boleh mengkhianatinya! (yaampun, sungguh dilema).
“eto..., kenapa tidak ke kantin seperti yang lain?” tanya Daiki.
“iie, aku hanya sedang ada sedikit urusan dengan ini” jawabku sambil menunjuk kertas tak bersalah di atas mejaku (poor kertas).
“mau ke kantin bersama kami? kami tidak tau seluk beluk sekolah baru ini. Kita juga bisa lebih mengenal” ucapnya dengan nada sedikit memohon dan senyum.
WTH? Dia kira aku ini apa, pemandu wisata? Yah, harusnya aku menjawab yang semestinya, agar dia tau siapa aku ini. Lagipula aku kan sedang sibuk.
“ya, baiklah” ‘nuaaaniiiiii??????!!!’ tuhan, mulutku sendiri menistaiku! Harusnya aku menjawab tidak’
*JUMPING*
Karena kalimat nista yang menyeruak tanpa kendali dari mulut nistaku ini, aku harus berjalan bersama ketiga bocah itu menuju kantin sekolah, dan di sana begitu..., hhh..., ramai, dan aku agaknya tidak suka hal itu. ketika hampir mencapai kantin, kami berpapasan dengan Inoo, dia agak terkejut melihatku bersama orang yang belum dilihatnya sebelumnya. Lalu dia mendekatiku dan berbisik.
“apa mereka anak baru itu?” tanya Inoo, eh, maksudku bisiknya.
“um, sou desu” jawabku sambil mengangguk.
“ano hitotachi wa, kawai...” ujarnya.
‘naniiiiiiii????!!!!!!’ bahkan Inoo mengatakan mereka manis?? Pesona macam apa yang mereka miliki?! Aku lalu menatap ngeri kepada 3 domba mungil itu. mereka tersenyum lalu mendekatiku dengan inoo.
“konichiwa, anatatachi wa tomodachi ka?” tanya Daiki dengan wajah polosnya, hendaknya aku menjawab, tetapi segera di potong oleh Inoo.
“haik, sou desu. Watashi wa inoo Kei desu, yoroshiku” ucap Inoo sambil tersenyum maniss sekali. Daiki, Chii, dan Yamada pula memperkenalkan diri mereka.
“ea, Inoo-chan, ayo bersama kami ke kantin” ucapku berusaha mengakhiri pembicaraan ini.
“ehe..., aku mau sekali, tapi aku harus membantu Matsumura-sensei menyiapkan festival tahun ini. Waktunya hanya tinggal 2 minggu lagi. Oh ya, kelasmu juga ikut kan?” jawab inoo lalu kembali bertanya.
“uum, ah, sou desu. Sama seperti tahun lalu. Tapi, aku baru ingat” Jawabku.
perlu diketahui, festival sekolah kami adalah festival semacam Hanami, kami melakukannya di alun-alun kota setiap tanggal 22 april, di sana ada banyak bunga Sakura. Tetapi, agar lebih ramai, kami juga melakukan undian berhadiah yang disebut Bingo! Setiap orang yang mendapat nomor seri tertentu akan mendapatkan hadiah yang sesuai dengan nomor tersebut. Kami melakukan festival itu bukan hanya untuk kami saja, tapi juga untuk warga kota. Kadang-kadang, pemerintah daerah juga ikut serta, itu demi meramaikannya, dan untunglah setiap tahun kami selalu melaksanakannya dengan baik. Itu juga merupakan moment berharga, karena aku akan bebas mengajak Inoo kemana saja dan bergandengan tangan, khe khe khe.
“sou, aku permisi. Ah, kalian juga, jangan lupa untuk ikut festival itu ya. Akan sangat menyenangkan bila ada teman baru yang ikut bergabung” ujar Inoo kemudian pergi, yang diberitahu hanya mengangguk.
Aku dan ketiga anak itu kembali melanjutkan perjalanan menuju kantin. Saat kami hendak memesan, Chinen tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sepertinya mengerikan.
“nee, apa kau menyukainya? Apa dia pacarmu?” tanya Chinen. Yaampun, pertanyaan skak itu membuatku harus menelan ludah dengan paksa.
“ea..., bu-bukan. Dia bukan pacarku” jawabku seadanya.
“kau menwyuwkwainywa” sahut Yamada.
“kenapa kau menahan lidahmu seperti itu?!” tanyaku datar pada bocah itu.
“sudahlah, akui saja. Kau itu menywukwainywa” kali ini Daiki ikut-ikutan.
“omae mo!?” yaampun, kenapa mereka menahan lidah mereka seperti itu?
“sudah, sudah. Kurasa orang yang sedang menywukwai seseorang itu memang selalu gugup” sahut Chinen menyudahi.
“jangan menahan lidahmu baka!” seruku.
Aku baru menyadarinya saat ini, kami menjadi lebih akrab dari beberapa menit yang lalu. Apa ini karena pesona mereka yang luar biasa? Atau mereka memang pintar bergaul? Ah, kurasa keduanya memang benar. Kami lalu memesan makanan, dan makan siang itu berlangsung khidmat, meskipun cara mereka berbicara dengan menahan lidah mereka itu membuatku sedikit kesal sebenarnya, tapi selain itu mereka hebat.
*JUMPING*
Ahh..., waktunya untuk kembali ke rumah masing-masing. Ini seperti mukjizat, wajah-wajah yang suntuk itu berubah seketika menjadi bentuk yang lebih segar dan ceria, tahu bahwa pelajaran itu sudah cukup untuk hari ini. Aku sedang membereskan buku-bukuku untuk segera pulang seperti yang lain. Ketika hendak keluar pintu kelas dengan papan nama 6.3 itu, ada suara yang menghentikanku. Aku tau betul siapa orangnya, itu karna hanya kami saja yang tersisa di kelas ini.
“ano..., bisakah...” aku menoleh, menatap wajah-wajah polos mereka yang begitu mengharap.
“nani?”
“eto..., kami, kami tidak tahu jalan pulang” ucap Chinen, mereka bertiga menunduk.
“BRAKKK” yaampun, suara itu. Tenang, itu bukan suara pintu yang terbanting olehku, melainkan bunyi tubuhku yang jatuh menimpa lantai dengan selamat.
“huee??? Nani??” seru Daiki panik saat melihatku..., ee..., sweetdrop.
“ea, aku tidak apa-apa. Kenapa..., kalian bisa lupa hal penting seperti itu? siapa yang mengantar kalian?” tanyaku.
“eto..., kami..., kami naik taxi ke sini. Tapi kami tak ingin lagi naik taxi” sahut Yamada.
“eeh? Kenapa?”
“itu..., paman supir taxi itu memandangi kami dengan aneh” jawab Chinen.
Aku melongo, cengo seperti orang dongo. Yaampun, mereka ini benar-benar penarik perhatian. Bahkan paman supir taxi juga? Mereka benar-benar harus dijaga.
“huuh..., baiklah, rumah kalian di mana? Dan kalian tinggal bersama siapa?” tanyaku lagi.
“kami tinggal 1 apartemen di tengah kota. Yang mengurus kami adalah Miyuki-san, pembantu yang ditugaskan khusus oleh ayah” jawab Daiki.
“kalian saudara?”
“tidak! Kami hanya tinggal bersama karena keluarga kami adalah teman baik. Ayah bilang kami harus mandiri, dan kami dibawa bersekolah di sini” kini Yamada terdengar sedikit takut.
“sou ka? Yasudah, aku akan mengantar kalian. Ikuo”
“haah, hounto ka?!” Daiki terlihat sangat bersemangat, ia tersenyum manis sekali, tuhan..., pesonanya kuat. Aku tersenyum pula membalasnya.
“yosh. Jangan sampai tertinggal ya”
saat kami hendak melewati koridor, seseorang kembali memanggilku, aku berbalik dan mendapati sosok Inoo sedang menuju ke arahku.
“ah, kau sudah mau pulang? Kita pulang bersama?” tanya Inoo, tapi sepertinya untuk hari ini aku sedang tidak bisa. Arah rumah ketiga anak ini berbeda jalur dengan rumah kami, dan aku sudah berjanji pada mereka. Aku sepertinya memang harus bilang pada kaa-san kalau aku pulang terlambat.
aku menggeleng “hari ini aku tidak bisa, Inoo-chan. Aku harus mengantar Daiki, Chinen, dan Yamada. Mereka melupakan jalan pulang mereka, gomen ne, Inoo-chan” jawabku dengan menyesal. Seharusnya aku bisa pulang dengan Inoo saat ini, haah, tuhan...
“ooh, sou ka? Ja, kyoskete na. Kalian juga” ujar inoo.
“eto..., tolong katakan pada kaa-san bahwa aku akan pulang sedikit terlambat, Inoo-chan” Inoo mengangguk kemudian berbalik dan pergi, aku hanya menatapnya dengan sedih.
“kau memang menywukhwainywa” sahut yamada.
“urusai” jawabku ketus.
Aku dan ketiga domba manis itu melangkah pergi dari sekolah, menuju pintu gerbang yang besar. saat aku berpikir bahwa aku akan baik-baik saja dan berusaha untuk melupakan sikap burukku pada Inoo barusan, sesuatu yang lebih parah malah terjadi. Aku merasa hari ini, Tuhan sedang mengujiku. Dengan 3 buah magnet di dekatku, tidak mungkin aku bisa mengangkat semua besi yang tertarik oleh mereka. Kira-kira begitulah pikiranku saat jalan dengan ketiga domba manis itu.
“wah-wah, kau membawa sesuatu yang menarik hari ini ya?” suara seseorang mengintrupsi langkah kami saat hendak keluar dari pintu gerbang itu, suara yang identik dengan kengerian. Aku menoleh dengan gerakan patah-patah leher ke belakang dan mendapati cobaan yang sebenarnya tengah menyeringai di sana. Anak-anak JUMP, anak-anak kasar dan otoriter di sekolah. Menganggap apa yang diinginkannya harus menjadi miliknya, bahkan Inoo??!! Tapi tidak kali ini.
“apa yang kalian inginkan?” tanyaku ketus pada ketiga bocah berandalan (menurutku) itu. mereka sangat suka memajaki anak-anak lain, padahal mereka sendiri Orang kaya.
“kau kasar sekali, harusnya kau mengenalkan teman barumu itu pada kami kan?” sahut anak dengan rambut acak-acakan itu.
“yang dikatakan Takaki-san boleh juga” kini tongkat Nakajima itu maju, wajah juteknya itu memuakkan.
“mereka sangat manis, bukan begitu? Nakajima-san, Takaki-san?” dan yang terakhir juga. Huh..., mereka benar-benar merepotkan. Aku menghela napas, jika tidak kuturuti keinginan mereka, kami pasti akan berlama-lama di tempat nista ini.
“hh..., hai, hai. Kenalkan, mereka adalah murid baru dikelasku, Chinen Yuuri, Arioka Daiki, juga Yamada Ryosuke. Kalian, mereka ini adalah JUMP, yang seperti tongkat itu Najima Yuuto, lalu di sebelahnya Takaki Yuya, kemudian yang terakhir Yaotome Hikaru” ucapku sambil memperkenalkan masing-masing dari mereka.
“kau selalu membuat nama aneh ya, tongkat?” protes si Nakajima dengan wajah Jutek khasnya.
“hai, yoroshiku minna” ujar Yamada sambil tersenyum. Aku melirik bosan ke arah JUMP, tapi, eh? Apa ini Cuma khayalanku saja atau aku benar-benar melihat si Nakajima itu memerah? Dan Yamada juga?!!!
“ha-haik, do-douzo!!” yaampun, sikap si Nakajima itu benar-benar tidak seperti dirinya selama ini. Kepribadian yang Jutek dan tidak pedulian itu menjadi seperti ini hanya karena seorang Yamada? Subarashi yamada-san. Eto..., tapi ngomong-ngomong dia masih mempertahankan wajah juteknya itu.
“senang mengenalmu, aku menyukaimu. Kau mau kan jadi pacarku?” sahut Takaki. Oh tuhan, apa lagi ini? Itu Takaki Yuya, ada apa dengannya? Dan lagi, wajah obakenya itu, memehar seperti sebuah topeng Tengu (dihajar Takaki). Aku memperhatikannya, pandangannya mengarah pada Daiki, sementara yang ditatap hanya memasang wajah terkejut. Tapi beberapa saat kemudian,
“e-eto..., um..., aku..., aku tidak tahu” jawab Daiki dengan mode malunya. Yaampun, jangan bilang Daiki tertarik pada si wajah Tengu itu!? dunia mau kiamat!! Tapi wajah Daiki benar-benar memerah, apa ini serius?
“hehe..., daijobu ka na. Aku akan menunggu. Kau mau pulang bersama si pengecut ini? Hati-hati ya. Oi, jaga baik-baik dia, atau nyawamulah yang melayang” Takaki mengancamku dengan wajah horornya yang sebenarnya tidak perlu dibegitukanpun sudah horor (dihantam takaki).
‘kenapa tidak kau saja yang mengantar’ batinku.
“yasudah, kami pergi. Jaa ne” ucap takaki dan segera beranjak dari tempat itu meninggalkan kami, sementara si Nakajima? Ia menyusul paling akhir karena masih terpaku dengan wajah Yamada yang notabane sangat memabukkan itu. tapi, aku heran. Si Yaotome tidak mengatakan sepatah katapun, dan dia hanya menatap datar ketiga domba manis itu, padahal tadi dia sendiri yang berbicara dengan nada genit tentang betapa manisnya wajah ketiga murid baru itu. yasudahlah, itu masalah mereka.
Di tengah perjalanan, aku memperhatikan sikap yamada dan Daiki, mereka benar-benar tersipu.
“oi, Daiki. Apa yang kau pikirkan?” Tanyaku.
“eeh?? Ti tidak, aku tidak sedang memikirkan Takaki-san” jawabnya. Yaampun, jawaban dungu macam apa itu? dia benar-benar payah menyembunyikan sesuatu.
“kau mwenywukwai Takaki-san” sahutku meniru yamada.
“eeh? So-sonna mono wa nai!” jeritnya. Tapi sayang sekali, wajahnya tidak menggambarkan sedikitpun kebenaran tentang jawabannya, malah sebaliknya.
“omae mo, Yamada-san” kini aku menatap datar sosok Yamada Ryosuke yang juga sedang dalam keadaan sama seperti Daiki.
“aku..., aku tidak memikirkan apapun” sahutnya membela diri, tapi dia punya kasus yang sama. Aku tau sekarang kenapa mereka bertiga bisa begitu dekat.
“yaampun, kau juga mwenywukwai Nakajima-san. Sou ka”
“a-apa yang kau katakan? Muri da yo!” pekik Yamada.
Aku memalingkan pandanganku pada Chinen, dia terlihat biasa saja. Tak ada ekspresi berlebihan seperti Daiki ataupun Yamada, maksudku tidak ada ekspresi seperti blushing atau malu-malu dengan rona wajah yang ketara di kedua pipi mereka. Dia sama seperti biasanya.
“ee, Chinen-san? Apa yang kau pikirkan” tanyaku, Chinen terlihat sedikit terkejut mendengarku, tapi sedetik kemudian ia tersenyum, kemudian menatapku.
“hehe.., iie. Di sini menyenangkan” ucapnya masih dengan senyum itu.
“o-ooh.., sou ka.”
Setelah hampir 1 jam kami berjalan kaki, sampailah kami di apartemen ketiga anak itu. mungkin ada beberapa kata yang bisa kugunakan untuk menggambarkan apartemen itu dari luar, seperti megah, besar, mewah, keren, dan ini seperti bukan apartemen.
“eto..., apa kau yakin menyebut ini apartemen?” tanyaku tidak percaya.
“ehe..., sebenarnya ini vila ayah. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu. Gomen ne” ucap daiki sambil membungkuk, diikuti 2 saudara tidak sekandungnya.
“aa..., daijobu desu. Ma, kalau begitu aku pulang. Sampai jumpa besok ya” ucapku kemudian hendak pergi.
“um, arigatou gozaimasu!” seru ketiganya bersamaan, aku hanya tersenyum melihat mereka.
*JUMPING*
Waktu berlalu, aku dan ketiga domba manis itu semakin dekat, begitu pula anak-anak JUMP yang semakin lengket pada mereka, mengganggu pemandangan saja. Tapi bagaimanapun, aku harus bersama ketiga domba manis itu, sebagai teman yang baik aku tidak mungkin membiarkan mereka di grepe-grepe oleh ketiga orang nista itu.
Tidak terasa, lusa adalah saat festival, dan kelasku terpilih tahun ini sebagai tim pembantu. Itu membuat kami semakin sibuk, tapi ketiga domba itu selalu bersamaku, begitu pula anak-anak JUMP, dan kami agaknya menjadi..., lebih akrab.
“Oi, simpan itu di dekat pohon sakura yang itu!” seru Miyuki, ketua kelas kami. sore ini kami sedang bertugas di tengah kota, tempat akan dilakukannya festival itu. ada banyak guru pembimbing di sini, juga beberapa siswa kelas lain dan anak OSIS.
Kelas kami spesialis dalam tata ruang interior maupun exterior, jadi soal menghias hal seperti ini, kami cukup ahli. Tadi aku bilang beberapa anak kelas lain, dan sebenarnya yang lain itu cukup berguna, kecuali 3 orang anak JUMP itu. mereka benar-benar pengganggu. Takaki selalu mencarfi kesempatan untuk merayu Daiki dan bahkan memegang tangannya, yaampun, dasar Hentai! Lalu si Nakajima, berdiri mematung dengan wajah memerah seperti kulit buah kopi sambil memandang lurus ke arah Yamada, membuat Yamada tersenyum gaje. Kemudian Yaotome? Apa yang dilakukannya? Tidak tahu. Tapi dia membantu Chinen, itu lebih baik dari pada kedua temannya itu.
“yaah, akhirnya selsai. Minna, bagaimana dengan kalian!??!” sahutku tanda telah menyelesaikan pekerjaanku. Tapi yang lain terlihat masih sibuk. Aku mendekati Chinen yang masih bersama Yaotome.
“nah, Chinen-san, bagaimana? Apa kau perlu bantuan?” tanyaku.
“ehm, iie. Sedikit lagi selesai” jawab Chinen.
Sou ka, hari sudah semakin larut, matahari yang terik tadi bergerak ke arah Barat sekarang, dan sedikit lagi hendak lenyap di garis cakrawala sana. Aku memandang 3 domba itu, mereka terlihat cukup lelah sekarang. Daiki terlihat sedang meminum minuman yang dibawakan Takaki, si Nakajima menyerahkan dengan muka jutek yang dipaksakan sebotol air mineral kepada Yamada dan disambut oleh senyum hangat sang domba. Aku menengok ke arah hikaru dan mendapati dirinya sudah tidak berada di tempatnya duduk tadi.
“eeh? Yaotome-san wa doko ni?” tanyaku pada Chinen, sementara ia hanya menggeleng pelan. Aku menatapnya, pandangannya lurus ke depan, kepada 2 temannya, ia kembali tersenyum.
“Dai-chan dan Yama-chan, mereka terlihat bahagia ya?” ucapnya kemudian.
“aah, aku senang melihat mereka sudah bisa terbiasa dengan yang lain. Itu sangat bagus” jawabku.
“apa aku nanti bisa seperti mereka ya?”
“um, apa maksudnya?” tanyaku merasa aneh dengan ungkapan Chinen barusan.
“dari kecil, kami selalu bersama, itu karena keluarga kami memiliki hubungan yang erat. Jika aku senang, mereka akan senang, dan saat aku merasa sedih, mereka akan berada di dekatku. Tapi, apa yang mereka rasakan sekarang berbeda. Mereka menemukan cinta.”
“cinta?”
“um, ibu mengatakan saat orang lain jatuh cinta, dia akan melupakan dunianya dan terus bersama orang yang disayangi dan disukainya. Aku harap aku bisa seperti mereka. Apa sekarang mereka melupakanku ya?” pandangan Chinen sedikit menyendu.
“hehe..., muri da yo? Mereka tidak mungkin melupakanmu. Bukankah kalian itu sudah seperti saudara? Ikatan seperti itu akan sangat sulit di lupakan. Kau pasti akan merasakannya, dan merekapun akan senang.” Ucapku. Chinen memandangku, terlihat sedikit cahaya di matanya.
“um, sou desu. Aku percaya pada Dai-chan dan Yama-chan. Mereka tidak mungkin melupakanku.” Ujarnya sambil tersenyum, aku membalasnya.
“gambare yo. Cinta itu bisa di dapatkan dari mana saja. Seperti cinta kepada teman, keluarga, dan orang-orang yang penting”
“um! Arigatoi na, kau sangat baik” setelah mengucapkan itu Chinen memelukku, dia sdikit terkikik di pelukan itu, kemudian melepasnya.
“Chii!! Kau belum akan  pulang?! Kalau tidak cepat nanti kami tinggal loh!” seru Yamada dari kejauhan. Chinen menatap mereka.
“Chii?”
“itu nama panggilanku. Jaa, matta ashita! Matte, Dai-chan, Yama-chan!!” seru Chii kemudian beranjak pergi menyusul kedua temannya itu.
Aku menatap mereka dari kejauhan, mereka terlihat senang, teman baru yang baik.
*JUMPING*
Hari ini terasa lebih baik dari sebelumnya, aku menjadi sedikit lebih bersemangat dari kemarin atau hari sebelumnya. Besok adalah festival, dan aku akan mengajak Inoo jalan-jalan sambil hanamian di festival tersebut seperti tahun sebelumnya. Aku tinggal beberapa langkah lagi sampai di rumah Inoo, dan ketika langkah kakiku hendak kuhentikan, Inoo keluar dari rumahnya dan segera menuju ke arah sekolah.
“ah, Inoo!! Matte kudasai!” seruku dan segera berlari menyusulnya. Tapi dia tidak menoleh sedikitpun kearahku, dia malah terus berjalan dan tidak memperdulikanku.
“ooi, Inoo-chan, matte!” ucapku sambil mengganggam pergelangan tangannya dan membuatnya  berhenti. “doushita na, Inoo-chan?” tanyaku merasa aneh pada sikapnya.
“aku sibuk, kau pergilah dengan teman-teman barumu itu” jawabnya ketus.
“ara? Apa maksudmu?”
“kenapa kau masih mencariku? Bukankah kau sudah punya 3 orang teman baru yang manis-manis? Kau tidak perlu lagi berteman denganku sekarang, itu karena kau sudah berteman baik dengan mereka” jawabnya kali ini dengan nada marah di suaranya.
“a-apa? Aku-aku tidak seperti itu inoo-chan” yaampun, tuan putri marah, aku bisa dipenggal jika membuatnya naik pitam.
“sudahlah. Aku masih harus mengerjakan sesuatu. Jaa ne” ucapnya lalu pergi meninggalkanku dengan wajah memelasku. Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Sepanjang perjalanan ke sekolah, aku terus memikirkan tentang apa yang dikatakan Inoo. Memang benar, selama 2 minggu ini aku sangat jarang bersama Inoo, aku selalu menghabiskan waktuku bersama 3 domba itu. tapi..., melupakan Inoo? Itu mustahil. Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar bingung.
Aku masih terus memikirkan soal Inoo bahkan sampai kakiku menapak di dalam kelas. Rasanya sungguh tidak mengenakkan. Aku..., tidak ingin dia membenciku. Beberapa saat kemudian bel jam pelajaran pertama berdering, dan pelajaranpun dimulai ketika guru memasuki kelas. Tapi memang aku sedang tidak konsen, celotehan guru di depan papan tulis itu seperti angin lalu di telingaku. Kupandangi keadaan di luar sana, jendela itu seperti sebuah dinding tebal buatku. Membayangkan sikap Inoo tadi..., aku seperti merasa hancur.
*JUMPING*
Bel istirahat berdering nyaring sekali, tapi aku sama sekali tidak merasakan semangat apapun. Kesenanganku sudah musnah semua tepat saat inoo mencampakkanku tadi pagi.
“oi, kau sedang ada masalah?” seseorang menyahut dari belakang. Aku tahu siapa itu, dan mereka, itu karena hanya kami berempat saja yang tersisa di kelas sementara yang lain tengah menuju kantin atau bermain dengan teman mereka.
“hh..., iie, nandemonai” jawabku tanpa menoleh pada orang itu, masih menatap kondisi di luar.
“ayolah, kau harus cerita. Besok adalah hari festival, bukankah kita akan bersenang-senang? Bagaimana kita akan bersenang-senang jika kau murung seperti itu?” Daiki sepertinya berusaha.
“yah, dan kau bisa pergi dengan Inoo-san. Bukankah itu bagus?” sahut Chinen.
“kau menywukwainywa kan?” kali ini Yamada berujar masih dengan melipat lidahnya.
“hh..., itu percuma. Inoo-chan sedang kesal terhadapku” jawabku lesu, mengalihkan pandanganku dari jendela pada mereka bertiga.
“eeh? Nande? Doushita?” tanya Chinen.
“shiteiru wa nai. Dia merasa aku tidak menganggapnya teman karena sangat jarang bersamanya. Dan dia sepertinya begitu membenciku sekarang” jelasku.
“itu semua..., karna kami ya?” sahut Daiki kemudian.
“eeh, bu-bukan. Bukan begitu, Inoo-chan pasti punya alasan lain. Aku tidak menyalahkan kalian. Sungguh!” ujarku berusaha menenangkan mereka. Tetapi kemudian mereka tersenyum, sangat manis.
“iie, kau sudah sangat baik dengan kami, Inoo-san juga. Kami takan bisa melihat kalian seperti itu selamanya. Tenang saja, akan kami tangani” ucap Daiki.
“e-eh? Apa maksudmu?” tanyaku masih bingung.
“kau sangat menywukwainywa ya? Serahkan saja pada kami” sahut Yamada.
“berhentilah menahan lidahmu, Yamada-san -_-“ ucapku sambil memandang datar Yamada.
“tenang saja” sambung Chinen.
Mereka terlihat meyakinkan, aku tidak terlalu berharap pada mereka. Tapi.., setidaknya mereka membuatku sedikit lega karena menceritakannya.
*JUMPING*
Akhirnya, waktu festival tiba. Malam itu, pukul 7.00 malam, aku tengah bersiap dengan Yukata yang akan kukenakan ke acara festival itu. Haori tak bermotif dengan warna cokelat polos itu membingkai rapih tubuhku, juga dengan bawahan Hakama berwarna hitam.
“kau sudah siap sayang?” itu kaa-san, kami akan pergi bersama ke festival itu.
“baiklah, aku sudah siap. Ayo pergi” ajakku. Kaa-san terseyum, kemudian kami keluar rumah dan pergi ke tengah kota untuk merayakan festival itu.
Karena jarak rumah kami dengan alun-alun kota tidaklah jauh, jadi hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai di sana. Saat kami sampai, keadaan sudah sangat ramai, beberapa orang anak berlari kesana kemari, dan pepohonan sakura itu nampak sangatlah indah dan berjejer sangat rapih. Tapi itu belum apa-apa, masih banyak hal yang dapat dinikmati di festival ini.
“hey! Bergabunglah bersama kami!” kulihat di bawah pohon sakura raksasa yang tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang, Daiki, Chinen, dan Yamada dengan yukata mereka yang berwarna warni, melambai-lambai ke arahku sambil memasang senyum mereka yang sangat manis. Aku melepas genggaman kaa-san dan berjalan ke arah mereka. Yaampun, mereka kini lebih terlihat seperti para tuan puteri daripada orang yang hendak melakukan Hanami.
“aah, kalian di sini ya. Kenapa tidak berkeliling?” tanyaku.
“iie, kami berencana ke bukit sana!” ucap Daiki sambil menunjuk sebuah gunungan yang terletak tak terlalu jauh dari tempat kami sekarang. Bukit itu teretak di tengah kota, seperti bukit di kota tempat doraemon dan nobita tinggal #plakk. “tapi kami menunggu anak-anak JUMP itu. mereka sedang mengambil nomor undian untuk bingo. Kau ke sanalah duluan, kami akan menyusul” lanjut Daiki.
“tapi..., kalian?”
“sudahlah, pergi saja” ujar Chinen.
“afha khaw khetwakhwutan?” (baca: apa kau ketakutan?) ucap yamada dengan mulut dipenuhi cumi bakar.
“yasudah, kalau begitu aku ke sana. Tapi kalian jangan berlama-lama di sini. Jaa ne” aku kemudian menuju bukit itu, ini sudah pukul 8, kembang api akan ditembakkan sebentar lagi. Lalu semua sakura yang berjejer ini akan berguguran dengan cahaya berwarna-warni dari lampu-lampu yang dipasang di atasnya. aku ingat. Di sana tempatku dan Inoo selalu bermain dulu. Kami sering mencari serangga di sana. Haah..., seandainya aku masih baikan dengan Inoo, sudah pasti aku akan mengajaknya ke sini, duduk bersamanya dengan penerangan sebuah lampion. Aku selalu menyukainya, tapi mungkin aku benar-benar keterlaluan sekarang. Inoo mungkin takkan memaafkanku sekarang.
Aku masih terus berjalan, entahlah sekarang kakiku menuntunku ke mana, tapi aku masih memikirkan Inoo. Lalu tiba-tiba, aku berhenti. Terpaku, seseorang tengah duduk bersandar di bawah pohon yang sering kukunjungi dengan Inoo. Aku tidak begitu mengentarai wajahnya karena keadaan yang gelap. Matanya masih terpaku pada keramaian di bawah bukit, kurasa dia tidak menyadari kehadiranku. Aku mendekatinya perlahan, tapi sepertinya rencanaku gagal oleh ranting-ranting kering yang berseerakan di tempatku berpijak. Dia perlahan menoleh ke arahku, dan saat itu juga terdengar suara kembang api ditembakkan. Cahaya kembang api itu menyinari permukaan bukit yang menjadi tempat kami, pula menyinari wajahnya, memberi tahuku siapa dia. Seharusnya aku tahu, hanya Inoo yang tau pohon itu selain aku. Aku memandangnya tak percaya.
“I-Inoo-chan?” ucapku masih terkejut. Ia tersenyum, senyum yang disinari oleh letupan kembang api.
“konbanwa. Aku menunggumu loh. Ayo, nikmati kembang api ini bersamaku. Seperti dulu” jawabnya masih tersenyum. Aku melangkah lebih dekat ke arahnya, Inoo lalu berdiri. Kami saling bertatapan, berdiri berhadapan di depan pohon tempat kami bermain. Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi, tapi sesaat kemudian inoo memelukku. Dia memelukku, hangat sekali.
“gomen ne, aku meragukanmu. Seharusnya aku percaya” ucapnya sambil menyembunyikan wajahnya di dadaku. Ia lalu melepas pelukannya dan memandangku, dia masih tersenyum manis.
“ahaha..., iie, itu juga salahku. Seharusnya aku bersamamu. Aku selalu ingin pulang bersamamu, atau sekadar mengajakmu makan ke kantin” ucapku.
“daijobu ne, Daiki dan temannya sudah memberitahuku”
“ue? hounto ka?”
#Flash Back#
Inoo sedang bersiap untuk segera pulang, besok adalah malam festival, dia takkan mau kecapean untuk alasan apapun. Lagupula, dia akan bersenang-senang. Meskipun orang yang diharapkannya menemaninya tidak bersamanya saat ini. Hendaknya Inoo akan keluar kelas jika saja tidak ada 3 orang siswa yang masuk ke dalam kelasnya. Itu membuatnya terkejut. Daiki, Yamada, dan Chinen.
“eeh? omaetachi? Doushita?” tanya Inoo merasa kebingungan.
“kau salah paham” ucap Daiki.
“ara? Maksudmu?” tanya Inoo.
“dia.., tidak melupakanmu. Bahkan untuk alasan apapun, bahkan untuk kami sekalipun. Dia tidak mungkin melupakanmu” kali ini yamada membantu karibnya.
“sudahlah, jika kalian menemuiku untuk alasan itu. sebaiknya tidak perlu repot-repot”
“kau tidak tahu. Betapa senangnya dia ketika berbicara tentangmu” ucapan Daiki barusan sepertinya membuat Inoo terhenyak.
“setiap kali pergi bersama, atau pulang dengannya. Dia selalu membahasmu, bahkan untuk topik yang sangat tidak masuk akal. Kau tidak bisa membayangkan wajahnya saat mengatakan hal-hal tentangmu. Atau pembicaraan itu. dia begitu senang, wajah yang hangat dan menyejukkan. Dan dia hanya seperti itu ketika membahas tentangmu” Chinen mengutarakan semuanya. Inoo benar-benar terhenyak, kali ini wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus seperti apa. Harusnya ia sadar, orang sepenting itu tidak mungkin melupakannya. Ini hanya karena egonya saja.
“dia menywukwaimwu” sahut Yamada sambil menahan lidahnya.
“kenapa kau menahan lidahmu saat berbicara -_-“ tanya inoo datar pada Yamada.
“hai, sou desu. Dia benar-benar menyukaimu. Dan saat festival nanti, dia akan menunggumu di bukit dekat tempat festival di adakan. Kuharap kau segera berbaikan dengannya. Jaa ne, kami akan pulang” setelah mengatakan itu, Daiki, chinen, dan Yamada melangkah pergi dari kelas Inoo, meninggalkan Inoo yang masih terpaku.
“dia..., menyukaiku?” gumamnya. Inoo tersenyum, lalu melangkah pergi dari kelasnya, sebuah perasaan lega menyelimuti hatinya, ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
#Flash Back: End#
Yaampun, wajahku benar-benar memerah sekarang. Inoo sudah tahu semuanya, dan aku tidak bisa lagi mengelak.
“ma-maa..., aku bisa apa lagi?” ucapku gugup.
“dai suki da yo, hounto ni..., dai suki” ucapan inoo barusan seperti hendak menghentikan denyut jantungku. Benarkah ini? Aku seperti merasa hangat.
“um, ore mo. Inoo-chan wa dai suki” jawabku. Kami tersenyum, lalu kami habiskan melihat kembang api di atas bukit itu, sangat indah, seperti Inoo di sisiku.
*JUMPING*
Setelah pertunjukan kembang api, Hanami yang sesungguhnya di mulai. Aku dan Inoo sengaja melewatkan Bingo karena kami juga tidak sempat mengambil kupon tadi. Aku duduk bersama Inoo di bawah pohon sakura yang berada di tengah-tengah. Indahnya helaian sakua yang berwarna warni memantulkan cahaya lampu yang dipasang diatasnya membuat kami tenang. Lalu beberapa saat kemudian, aku melihat 3 domba manis itu menuju ke arah kami, tapi tidak hanya bertiga, melainkan dengan anak-anak JUMP. Mereka sudah sangat akrab, apa lagi dengan kedekatan antara Daiki dan Takaki, juga Yamada dan Nakajima.
“sedang menikmati Hanami? Apa kami boleh ikut?” tanya Daiki dengan wajah polosnya.
“kalian meninggalkanku di bukit itu sendirian, apa kalian mau mati?!” ujarku dengan wajah killer yang dibuat-buat, tapi itu sepertinya cukup membuat mereka beringsut.
“oi, apa kau juga ingin mati?” baiklah, tadi aku hanya berpura-pura, tapi kurasa death glare Takaki memjang ditujukannya padaku.
“gomen” ucapku.
“hehe..., gomen nasai yo. Tapi kau juga kan ditemani oleh Inoo-san di sana” sahut Chinen dengan senyum gigi kelincinya.
“kalian saling menywukwai” sahut Yamada.
“bisakah kau bicara tanpa menahan lidahmu?!” seruku dan Inoo bersamaan.
Setelah itu kami tertawa, sangat menyenangkan. Malam itu aku merasa kembali, Inoo akan selalu berada di sisiku sekarang, dan aku akan selalu mempercayainya. Aku menyayanginya, seperti dia juga yang menyayangiku.
*FLASH BACK: END*

Aku mengingat kembali ingatan segar itu, seakan baru terjadi kemarin. Bocah-bocah manis dan lugu yang kukenal kemarin tumbuh bersamaku dan kami menjadi sebesar ini. Tapi, saat itulah untuk pertama kalinya aku mengetahui perasaan Inoo terhadapku, dan aku bahagia.
Setelah itu, kami semua bergabung dan terus menuju tempat tujuan kami, tempat yang sama, agaknya tempat itu masih cukup jauh. Tapi, kami masih punya waktu 1 jam lagi untuk menyaksikan pertunjukan utamanya, jadi tidak perlu terlalu khawatir terlambat.
Angin dingin masih berhembus malam itu, memainkan salju yang turun perlahan. Aku, Inoo, Yuto, dan Yama-chan masih terus berjalan.
“ah, sou ka. Aparrtemen Chii hanya berjarak beberapa rumah dari sini, apa kalian tidak keberatan kita menjemputnya?” sahut yama-chan.
“uum, bagus juga. Itu supaya kita lebih ramai. Ikuo” Inoo mendukungnya, aku dan Yuto tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaan mereka. Jadilah kami berjalan lagi, kemudian kaki kami berhenti di sebuah apartemen yang terbilang cukup besar dengan pemandangan yang cukup mewah.
Setelah tamat SMP, ketiga domba manis itu berpisah dan mencari tempat tinggal lain agar lebih mandiri, tetapi mereka juga tidak mencar tempat tinggal yang berjauhan, jaraknya hanya 3 atau 4 blok saja.
Kami segera memasuki halamannya dan mencari sosok Chii, tentunya di dalam apartemen besar itu. belnya di tekan oleh Yamada beberapa kali, lalu sesaat kemudian keluarlah seseorang dari balik pintu tetapi malah bukan orang yang sedang kami cari.
“ara, minna? Nande?” tanya orang itu.
“oi, nande omae wa koko ni?” tanya Yuto ketus.
“sudah jelas kan? Chii adalah pacarku, apa salah berada di rumahnya dan menunggunya untuk kencan?” ucap orang tersebut “ja, kalian masuk dulu. Aku akan menyusulnya dan membantunya berdandan agar lebih cepat. Kita bisa pergi bersama”
Kami memenuhi ajaran itu dan segera masuk ke dalam apartemen itu, ruang tamunya tertata rapi. Dan Chii, dia memang lamban soal dandan, jadi kami harus menunggunya. Saa..., ada anak itu ya. Sejenak kami seperti melupakannya, tapi dia memang orang yang baik, terutama untuk Chii. Mungkin itu sebabnya Chii mau dijadikan kekasihnya. Dia benar-benar baik.

Note: kenapa DaiChiiYama dipanggil Domba? Itu karena sifat mereka yang hampir sama, selalu bersama, dan sering melakukan hal yang sama, ukurannya hampir sama, kegemaran yang mungkin sama, meskipun tidak sama-sama amat. Lagian kalo dipanggil bebek kan gak pantas -_-
TBC.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar