Jumat, 23 Mei 2014

JUMPING (part 4)


JUMPING (Part 4)

Main Cast: Hey! Say! JUMP member, and view other
Genre: Romance, Friendly, Shounen ai
Rating: T
Pair: author baru dapat beberapa pasang yang cocok. Tapi soal kepuasan reader, author gak jamin, diantaranya NakaYama, TakaDai, RyuChii















Kami sampai di dalam apartemen Chii, ketika bel pintu ditekan oleh Yama-chan, orang yang membukakan pintu itu bukan Chii, melainkan sosok yang sudah 2 tahun ini menjadi kekasihnya. Kami memutuskan menunggu si kecil itu berdandan.
Aku, Inoo, Yama-chan dan Yuuto duduk bersama di atas sofa empuk yang tersusun rapi di ruang tamu apartemen Chii, kami merasa bosan dengan sedikit suasana yang agak garing.
“minna, tolong tunggu sebentar lagi, Chii masih membereskan rambutnya” sosok yang tadi membuka pintu kini turun dari tangga, ia baru saja dari kamar Chii untuk memastikan keadaannya. Bukan, bukan sakit atau terluka karena berdandan.
“oh, sou ka? Baiklah, kami menunggu” jawab Inoo dengan senyum khasnya.
“ara-ara..., anak itu tidak pernah berubah” ujar ketus Yuuto.
“oi, bukan salah Chii karena kaku dalam berdandan” bela Yama-chan.
“sa, Ryu-chan, apa kau juga ingin ikut bersama kami?” tanyaku pada sosok itu.
“kita ajak si tupai saja, tidak perlu membawa penggila tikus ini” celetuk Yuuto lagi-lagi dengan nada juteknya.
“Nakajima-san..., aku ini bukan penggila tikus” gumam Ryu-chan dengan nada dipaksakan, tampak sebuah perempatan di sudut dahinya.
“sou? Lalu makhluk yang kau sebut Ham-chan itu dari jenis apa?” Yuuto masih saja menggodanya.
“Yuuto, hentikan itu” desis Yama-chan dengan wajah killer. Aku memperhatikan itu, dan Yuuto benar-benar ciut karenanya.
Ryu-chan mendekat dan duduk bersama kami, terlihat dia masih kesal dengan ungkapan Yuto.
“Ham-chan bukan tikus, manusia tongkat. Dia itu hamster!!!” jelas Ryu-chan sambil menatap sinis pada pria bermarga Nakajima itu, yang lain hanya tertawa. Ingin Yuto membalas itu, tapi niatnya kembali diurungkan ketika melihat death glare dari kekasihnya yang telah disiapkan untuknya.
“sasuga Ryutaro. Tentu kami akan mengajakmu. Karena jika tidak, Chii akan terlihat murung sepanjang perjalanan” sahut Inoo sambil tertawa, diikuti oleh yang lain.
“haha..., yah, kalian benar. Chii memang tidak berubah. Mungkin karena itu, tuhan mempertemukan kami” ujar Ryu-chan dengan tatapan lembut dan senyum kecil di bibirnya.
“sou yo ne, aku ingat Chii menjadi sangat dekat denganku ketika kalian mulai saling mendekati” sahutku.
“yaah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku dan Chii jika tidak ada kau dan Inoo-san” ujar Ryu-chan sambil tersenyum, senyum yang lebih lebar dari yang tadi.
“kau dulu playboy. Dan kau bahkan sempat membuat Chii menangis” sahut Inoo-chan. Suasana menjadi dingin, semua terdiam. “sudahlah, itu sudah lama, ehe...” celetuk Inoo-chan kemudian, dan suasana kembali cair.
“aah, itu sudah lama sekali. Waktu kita masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Aku ingat Chii menjadi anak yang sangat populer!” sahutku.
“haha..., sou yo ne! Dia anak yang jenius dan sangat manis” Inoo menambahkan.
“yaah, mungkin karena itulah aku menyukainya. Dia benar-benar polos saat itu”
@FLASH BACK@
Waktu itu adalah awal April, awal musim semi di mana bebungaan tumbuh lebih berwarna dan baunya jauh lebih wangi dan bervariasi seperti warna dan bentuknya. Semua terlihat sama ketika aku merasakannya dengan keadaan di sekelilingku, seperti tidak ada yang berubah, maksudku, meski ini adalah musim semi tapi terasa tidak ada perbedaan mencolok dengan hari-hari atau musim sebelumnya. Kami sudah lulus sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, dan sekarang melanjutkan ke sekolah menengah atas. Inoo dan aku bersekolah di tempat yang sama, kami menjadi lebih dekat dari dulu, apalagi saat ini kami satu kelas. 3 domba sahabatku berpisah sekolah ketika memasuki SMP, Chii masuk sekolah yang sama denganku, Yama-chan di Fukuoka bersama ayahnya, dan Dai-chan bersekolah di Saitama. Anak-anak JUMP itu juga mengikuti mereka, maksudku orang yang mereka sukai.
Chii tumbuh menjadi anak yang lumayan populer di sekolah kami, dia adalah siswa yang jenius dan diincar oleh banyak gadis. Meskipun tidak terlalu berbeda denganku dan Inoo, tapi tetap saja dia sangat populer. Chii menjadi anggota OSIS dan mendapat banyak perhatian dari guru-guru.
Ini sudah tahun ajaran kedua, dan penerimaan siswa baru telah selesai beberapa minggu yang lalu, kalau tidak salah hari ini adalah puncak MOS, Chii terlihat lebih sibuk dari biasanya. Banyak yang harus disiapkannya untuk hari ini, meskipun aku yakin dia sudah menyelesaikan semuanya dari kemarin, tapi dia masih saja sibuk.
*JUMPING*

“Chii, kau ada waktu? Istirahat nanti makanlah denganku dan Inoo” sahutku saat kudapati dia di dalam kelas di sela jam pelajaran. Kelas terdengar riuh dan ramai. Tetapi Chii terlihat masih berkutat dengan apa yang ada di atas mejanya. Sebuah proposal.
“ah, gomen nasai. Aku tidak bisa, mungkin besok. Aku masih harus mengadakan rapat dengan anggota OSIS lain, kalau tidak, Nakayama-senpai akan menghukumku” jawab Chii dengan wajah memelas.
“oosh, ganbare yo! Nanti kalau selesai akan ku traktir!”
“ehe..., haik, akan kutunggu!” Chii kembali tersenyum, meski wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Aku yakin dia kekurangan tidur selama 3 hari ini, poor Chii. Dia benar-benar takut dengan si Nakayama itu.
“Chii, kalau tidak sempat makan siang, makanlah ini!” aku agak tersentak, Inoo datang tiba-tiba sambil menyodorkan sekotak obento pada Chii.
“eh? Iie, tidak perlu. Bukankah ini obento Inoo-chan? Aku baik-baik saja” jawab Chii sambil berusaha menolak obento yang diberikan Inoo.
“yada yo Chii. Aku dengar darinya bahwa kau tidak pernah makan siang selama hari-hari MOS, anggota OSIS sepertimu juga perlu makan. Ne, ambillah, dan makan kalau kau ada waktu.” Inoo sepertinya ngotot sekali, dia sampai hanya melirikku saja.
“teme..” desis Chii sambil melempar death glare ke arahku. Tapi aku benar kan?!
“eeh, a-arigatou ne, Inoo-chan” ucap Chii akhirnya menerima obento tersebut. Aku merasa lega, keakraban mereka membuatku merasa semua ini akan baik-baik saja. Chii itu orang yang pemalu, dan dia selalu terlihat polos dan sering dipermainkan oleh orang lain yang menganggapnya lemah. Tapi di sisi lain, dia itu sebenarnya orang yang kuat dan disiplin. Selama menjadi anggota OSIS, dia selalu melakukan apa yang terbaik yang bisa dia berikan. Chii benar-benar berjuang keras. Belakangan ini, sejak masuk SMP, kami bertiga menjadi sangat dekat. Inoo pernah bilang bahwa dia menganggap Chii itu saudaranya sendiri, dan mereka benar-benar akrab.
*JUMPING*
Bel pulang berbunyi ketika jam-jam yang berada di dalam sekolah serantak menunjuk angka 3. Semua siswa yang berada di lingkungan sekolah itu berhambur menuju gerbang. Ekspresi wajah mereka terlihat berbeda dari beberapa jam sebelumnya, air muka itu seperti mengatakan ‘Hore Aku Bebas!’.
Seperti biasa, Inoo dan aku akan pulang bersama. Suara langkah kaki kami terdengar cukup nyaring di sepanjang koridor sekolah, itu karena sekolah sudah sepi. Aku dan Inoo agak telat pulang karena Matsujun-sensei menuruh kami untuk membantunya ‘sedikit’ merapikan buku-buku yang berhamburan di dalam perpustakaan akibat ulah anak-anak nakal. Lain kali akan kuurungkan niatku untuk apapun jika harus pergi ke perpustakaan dengan sensei itu di dalamnya.
Kaki-kaki kami masih terus melangkah, melewati ruang-ruang kelas yang telah kosong dalam diam. Aku tidak tau apa yang sedang dipikirkan Inoo saat ini.
“ano ne, Chii wa daijobu ka?” sahut Inoo memecah keheningan.
“eeh? Doushita?”
“akhir-akhir ini Chii terlihat lebih pucat dari biasanya, aku tidak suka dia menjadi bekerja terlalu keras, Chii itu...” Inoo sangat menghawatirkan Chii, aku tahu itu. Dan dia juga merasakannya, bahwa Chii itu orang yang bekerja keras. Dan dia sulit berhenti untuk apapun.
“daijobu da yo. Chii wa tsuyoi otoko da! Inoo-chan wa Chii o shinjiru” kulihat air muka Inoo berubah, dia sepertinya cukup terkejut dengan perkataanku.
“sou yo ne. Aku harusnya mempercayainya” ujar Inoo.
Kami kembali melanjutkan perjalanan kami. Langit sore terlihat lebih indah hari ini, sapuan warna oranye dan kelabu melukis cakrawala, memberikan pemandangan yang hangat. Kami masih terus berjalan, itu karena rumah kami masih cukup jauh #plakkkk.
*JUMPING*
Malam menjelang, jam dinding kamarku menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit, ini waktuku belajar. PR yang harus kukerjakan masih banyak, dan konsentrasiku harus buyar karena ketukan pintu kamarku oleh kaa-san.
“kau di dalam nak?” seru kaa-san dari luar.
“hai, nani o Kaa-san?!” jawabku.
“temanmu mengunjungimu. Haruskah dia kaa-san suruh masuk ke kamarmu saja?”
Teman? Sapa yang bertamu malam-malam begini? Lagipula tidak ada yang memberitahuku tadi selama di sekolah bahwa ada yang akan datang ke rumahku. Jadi siapa? Inoo tidak mungkin, karena kaa-san akan langsung menyebut namanya. Setelah berpikir beberapa saat, akupun menjawab.
“haik, silahkan!” aku berlari ke arah pintu, lalu memutar sedikit kuncinya untuk memastikan pintunya terbuka. Aku kembali ke meja belajarku.
Beberapa saat kemudian, pintu kamarku berbunyi ketukan lagi.
“masuklah!” seruku. Pintu itu kemudian perlahan terbuka, aku memperhatikan. Tetapi sesaat kemudian aku terkejut, orang yang bertamu malam-malam seperti ini, Chii?
“ara, Chii?” aku menghampirinya, penasaran dengan alasannya datang ke rumahku malam-malam begini. “doushita no?”
“eto..., ada yang ingin kubicarakan” jawabnya sambil menghadap ke arah lain. Apa ini hanya khayalanku sebelum mimpi atau Chii benar-benar tersipu? Demo..., nande?
“nani sore?”
“ano...., eto..., kurasa..., aku..., su-suka dengan seseorang” jawabnya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, aku yakin wajahnya benar-benar sangat memerah saat ini. Chii menyukai seseorang?! Apa ini pertanda buruk?? #plakkkk
Aku mengajaknya ke atas tempat tidur untuk bercerita dalam keadaan yang nyaman (note: minna jangan berpikiran yang macam-macam, ratingnya masih T noh!).
“sa..., siapa namanya? Apa kau pernah mengenalnya sebelumnya?” tanyaku membabi buta. Yaah, entah kenapa aku menjadi sangat tertarik sekali pada kisah Chii.
“eto..., namanya.., Morimoto Ryutaro...” jawabnya terbata. Yaampun, kenapa Chii bisa seperti ini? Inikah pengaruh cinta pada pandangan pertama!?? “aku belum pernah bertemu dengannya. Demo...”
“kalian bertemu di mana? Ceritakan padaku!”
“aku..., bertemu dengannya kemarin. Hari terakhir MOS”
*FLASH BACK: CHII POV*
“cepat!!! Kita hampir kehabisan waktu di sini! Apa kalian tidak bisa bekerja lebih cepat lagi?! Pembawa materi akan segera datang dan hari ini akan segera selesai untuk kalian!!” yaampun, suara cempreng Nakayama-senpai benar-benar menggelegar di lapangan ini. Ini merupakan kegiatan outdoor terakhir untuk hari ini, hari terakhir MOS. Nakayama-senpai jauh lebih ganas pada para peserta MOS dibanding beberapa hari sebelumnya.
“Chii, kau sudah makan?” seseorag menyapaku, dari suaranya aku sudah tau siapa dia. Aku mengenalnya sebagai bagian dari OSIS. Aku berbalik, menatap sosok itu.
“aah, Okamoto-san. Iie, belum” jawabku.
“ayo ke kantin bersama”
“gomen ne, aku belum bisa. Aku masih harus membantu Nakayama-senpai, selain itu, Inoo-chan sudah memberiku obento. Arigatou ne” jawabku merasa tidak enak.
“ah, sou ka. Ja, aku pergi ya.”
“eto, Okamoto-san, bukankah Yaotome-san juga sedang tidak ada kegiatan? Kenapa tidak bersamanya?” tanyaku.
“iie, kurasa dia akan punya pekerjaan lain jika aku yang mengajak. Sudah ya” jawabnya sambil berlalu pergi ke kantin.
Kedua orang itu sangat tidak akrab ya? Padahal mereka juga satu kelas, yaampun, apa yang terjadi antara mereka?
“senpai...” sebuah suara lagi-lagi mengintrupsiku, kali ini aku tidak tahu siapa. Jadi aku berbalik lagi. Dia seorang peserta MOS. Itu karena pakaiannya yang masih mengenakan kostum cosplay err.., kurasa itu karakter Akihito Kanbara dalam anime Kyoukai no Kanata.
“eh? Doushita?”
Tingkahnya aneh, kenapa menatapku dengan tatapan seperti itu? Tapi..., tunggu dulu, ada apa denganku? Kenapa rasanya jantungku berdetak sangat kencang? Nani ga itta??!!!
“eto..., apa senpai sudah punya pacar?” tanyanya.
“eeh? Ke-kenapa?”
“senpai jadilah pacarku!” dia mengucapkan itu dengan senyum yang polos. Apa dia orang sehebat itu?
“hieee???!!!”
PLAKKK
“ittaaiii!!” anak itu mengaduh sakit setelah mendapat hadiah bogem mentah dari Nakayama-senpai di kepalanya.
“kau ingin masuk sekolah ini atau merayu senpaimu hah? Kembalilah ke barisanmu dan segera masuk ke aula!” ujar Nakayama-senpai dengan wajah killernya, dia terlihat serius.
“su-sumimasen Nakayama-senpai.” Ucapnya setelah mengelus kepalanya “gomen ne Chinen-senpai. Ore wa Morimoto Ryutaro desu, suki da!” setelah mengatakan itu anak bernama Ryutaro Morimoto itu segera pergi ke tempat yang ditentukan oleh Nakayama-senpai. Sementara aku masih membatu di tempat karena kalimat yang barusan dilontarkan olehnya.
“tidak perlu kau pikirkan anak itu. Dia sepupuku, dan dia itu playboy” sahut Nakayama-senpai sadar akan sikapku pada Ryutaro.
“eh? Uh...uhm” anggukku.
###
Saat semua kegiatan itu sudah selesai, aku segera menuju ruangan OSIS yang terletak di ujung lobi sekolah, cukup jauh dari aula tempat penerimaan materi. Di tanganku masih menggantung obento yang diberikan Inoo tadi siang. Kurasa sudah mendingin, mengingat ini sudah jam berapa. Tapi obento buatan Inoo-chan pasti enak.
Aku masih terus berjalan di lobi-lobi yang sudah mulai sepi itu, orang-orang sudah mulai berpulang meskipun bel pulang harusnya berdering 30 menit lagi. Ketika aku melewati taman, mataku tidak sengaja menatap sebuah sosok yang duduk di atas fountain yang menghiasi tengah taman dengan bebungan di sekelilingnya. Aku tertarik, lalu kulangkahkan kakiku menuju sosok itu. Masih belum, aku merasa penasaran. Dari pakaiannya sepertinya dia adalah peserta MOS. Dan sepertinya dia anak itu, si bocah Morimoto itu.
“uhm..., ano..., Morimoto ka?” sapaku setelah berada cukup dekat dengannya. Dia berbalik, dan benar. Kostum seragam Akihito yang dikenakannya benar-benar mengingatkanku. Entah kenapa, air mukanya berubah. Aku yakin tadi dia terlihat murung.“ah, Chinen-senpai!” ia melompat ke arahku, tepat di hadapanku. Sesuatu di dadaku seperti bergejolak. Dadaku terasa sempit karena itu. Aku mundur beberapa langkah.
“e-eh, nani? Apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya kau pulang sekarang?” tanyaku sedikit OOT.
“eto..., aku menunggu senpai!” jawabnya lagi-lagi dengan senyum polosnya.
“eeh? Nani?”
“kita bisa pulang bersama mulai sekarang senpai”
“eto..., sumimasen na, masih ada yang perlu kulakukan di ruang OSIS. Ja..., sampai jumpa lagi”
“senpai membawa obento?” pertanyaannya keluar dari topik.
“ea, tadi Inoo-chan memberikannya padaku saat pergantian jam pelajaran” jawabku.
“dia kekasihmu, senpai?” aku agak terlonjak dengan pertanyaannya itu. Apa yang dipikirkannya sebenarnya?
“iie, Inoo-chan wa watashi no tomodachi desu. Sudah ya” aku pasti pergi dari tempat itu sekarang, tapi kembali kuurungkan karena telingaku menangkap bunyin mencurikagan.
KRUUK~~
Aku kembali memandang anak itu, terlihat dia sedang memegangi perutnya yang berbunyi. Wajahnya memelas.
“kau lapar?” tanyaku sambil berusaha menahan tawa. Dia menggeleng, tetapi perutnya sepertinya berkata sebaliknya, karena bunyinya terdengar lebih keras dari yang tadi. Aku tersenyum melihatnya.
“apa kau tidak pergi mencari makan? Kurasa beberapa jam yang lalu kantin masih belum tutup”
“aku menunggu senpai sampai kegiatan itu selesai. Dan aku tidak pergi mencari makanan.”
“hh..., bakamono. Yasudah, makanlah bento ini denganku”
“eh, yada yo. Senpai lebih lapar dariku. Senpai saja yang makan!” aku menggeleng, tetapi masih kurasakan senyum merekah dibibirku.
“iie, itu juga salahku. Douzo!” aku memaksanya dan akhirnya berhasil. Kami memakan obento buatan Inoo di pinggir fountain di tengah taman itu, suasananya terlihat berbeda. Anak itu makan dengan lahap, sepertinya dia benar-benar lapar.
“sou, kenapa kau menungguku? Bukankah kau punya teman yang lain?” tanyaku di sela suapan kami.
Kulihat dia agak terkejut, memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan. Sedetik kemudian ia tersenyum.
“sore kara, Senpai wa daisuki yo!” jawabnya. Lagi-lagi jawaban seperti tu dengan wajah tanpa dosa.
“yame yo. Anata wa otoko, sore mo ore ga..., dame” ucapku tanpa menatap wajahnya. Tapi dia malah menatapku sekarang.
“dakara nanda?” nada suaranya terdengar marah. “boku wa, Chinen-senpai dai suki, kawaranai” ucapnya sambil tersenyum lembut. Aku tidak tau apa yang kupikirkan, tapi perasaan hangat merambah di hatiku. Dia..., entahlah.
“keh..., makanlah makananmu dan pulang.”
Kami melanjutkan makan itu dalam diam, hanya suara air di dalam fountain itu yang menjadi peramai suasana, angin tak bertiup kencang di sini. Tapi kurasa dia lebih sering menatapku daripada makanannya. Yah, terserah dia saja. Morimoto Ryutaro.
*FLASH BACK: CHII POV-END*
“ea, dia sepupu si Nakayama?” tanyaku dengan wajah datar. Chii mengangguk mengiyakan. “tapi dia playboy. Dan tidak ada yang menyukai hal seperti itu”
“haik, kau benar. Lalu apa yang harus kulakukan? Bukankah aku bisa merasakan apa yang Dai-chan dan Yama-chan rasakan dulu ketika mereka bertemu JUMP?”
‘kami-sama, dia sangat polos’ batinku menjerit. “ja..., apa yang akan kau lakukan?”
“shiranai, apa menurutmu dia serius?”
“ore mo shiranakute -_-. Kenapa kau tidak bertanya pada Inoo-chan?”
“Inoo-chan akan memberi saran gila, dia pecandu hal-hal seperti ini, dan aku takut saat dia mulai menggila mendengarku bercerita” jawab Chii sambil membayangkan Inoo dengan wajah seperti iblis.
‘ea, yang ingin dia lakukan adalah memberimu saran kan?’ batinku.
“sudah kuputuskan, aku akan meminta saran darimu. Sou, tanome yo”
Aku harus bagaimana lagi? Chii selalu menang dengan wajah seperti itu, wajah yang ekspresinya tidak bisa ditolak.
“hh..., haik, wakarimashita. Serahkan padaku” jawabku kemudian.
“sore kara, aku akan pamit. Trimakasih, uhm..., kapan-kapan aku boleh ke sini lagi?” tanya Chii sesaat sebelum keluar dari kamar.
“oh, tentu saja! Kapanpun kau mau!”
Chii tersenyum sangat manis, menandakan dia sudah cukup tenang saat ini. Dia pamit, keluar kamarku dan pulang. Saat langkah kakinya menjauh dari kamar, kulirik jam dinding di kamarku, jam yang terus berdenting itu menunjukkan pukul 9. Kami bercerita cukup lama tentang anak yang disukainya itu.
*JUMPING*
Akhirnya, peresmian penerimaan siswa baru untuk tahun ajaran kali ini diadakan. Itu artinya, semua siswa yang telah diterima mendaftar di sekolah ini telah resmi menjadi siswa di sini. Hanya orang-orang OSIS yang mengambil peran penting dalam menyelenggarakan acara ini, kami yang siswa biasa hanya sebagai peramai saja.
“Chii, makan siang nanti ikutlah bersamaku dan Inoo!” ajakku pada Chii saat kami sedang berada di perpustakaan. Aku tidak melihat Matsujun-sensei di manapun, jadi kuberanikan diri masuk ke perpustakaan untuk sekadar menyapa Chii, pelajaran kedua akan dimulai 8 menit lagi dan Chii tidak pernah sekalipun datang ke kelas hari ini. Sudah 1 minggu ini dia tidak terlalu aktiv di dalam kelas. Katanya sih, izin sudah dikantongi olehnya dari kepala sekolah, tapi ketika aku bertemu dengannya, kondisinya semakin buruk saja.
“ah.., gomen ne. Aku benar-benar tidak bisa. Mungkin setelah hari ini.” Jawabnya sambil berusaha tersenyum.
“Chii?”
“ah, acaranya akan segera di mulai. Aku permisi dulu, Nakayama-senpai dan aku harus mempersiapkan beberapa perlengkapan” setelah mengatakan itu, Chii langsung pergi meninggalkanku dan menuju ke ruangan OSIS. Apa yang dipikirkan anak itu? Di sekolah kami terlihat tidak terlalu akrab, tapi ketika dia datang ke rumah, sikapnya benar-benar berubah. Chii orang yang seperti itu ya.
“ano Nakayama! Apa yang dilakukannya pada Chii? Chii sudah seperti seorang pasien busung lapar yang sangat tidak terawat” gumamku sambil membayangkan wajah si Nakayama.
Aku kembali ke kelas, dalam pikiranku terus terbayang sosok Chii yang diperbudak oleh si Nakayama dengan semua pekerjaan yang tidak seharusnya. Aku pantas khawatir, Chii adalah sahabatku.
Ketika aku sedang berjalan, seseorang tiba-tiba menabrakku. Ia nampak terburu-buru.
“ah, go-gomen nasai senpai!” ucapnya sambil merunduk dalam-dalam. Setelah itu ia mengangkat wajahnya sambil tersenyum.
“ea, lain kali perhatikan jalanmu” ucapku. Tak sengaja mataku melirik papan nama yang menggantung di dada kanannya. Morimoto Ryutaro. Aku sedikit terkejut, saat ingin kutanyakan mengenai dirinya, anak itu langsung pergi. Dia benar-benar buru-buru, oh iya juga, dia kan murid baru, dan acara peresmiannya kan sekarang. Pantas dia buru-buru.
“ck, shimatta! Aku bisa terlambat di jam pelajaran Jin-sensei!” jeritku setelah sadar waktuku kuhabiskan dengan duduk di lobi ini. Tujuanku sebenarnya adalah ke kelas, malah tersangkut di sini.
*JUMPING*
Hari ini, jam pulang di percepat, ada kabar mengatakan bahwa dewan guru sedang merancang struktur khusus yang entahlah apa namanya. Karena waktu bagiku dan Inoo masih banyak, kugunakan waktu kami untuk berjalan-jalan sejenak di taman kota. Karena bulan ini musim semi, bukan hanya suasananya saja yang bersahabat, tapi juga perasaan semua orang. Aku dan Inoo berjalan di tengah taman yang ditumbuhi oleh banyak pohon sakura. Seperti ketika festival beberapa tahun lalu saat sekolah dasar, hanya saja kali ini bunga-bunga sakura itu hanya berwarna pink.
“ne, aku semakin khawatir pada Chii” Inoo menyahut di tengah langkah kaki kami, membuyarkan suasana tenang di sekeliling. Aku menatapnya, kami berhenti.
“aah..., dia selalu berjuang keras selama ini. Tapi baru kali ini aku melihatnya sampai seperti ini”
“daijobu ka, Chii? Apa yang harus kita lakukan padanya?” wajah Inoo terlihat begitu khawatir dengan Chii dipikirannya.
“hmm..., daijobu da yo. Dia itu orang yang tau kapan harus berhenti.” Ujarku mencoba menenangkan Inoo.
Inoo kembali tersenyum, meski aku tidak tahu senyumnya itu adalah senyum yang tulus atau bukan. Dia masih terlihat khawatir.
Kami kembali berjalan, masih diam. Deru angin sepoi-sepoi terasa sangat sejuk, angin lembut itu menerpa rambut kami, juga menerbangkan helaian Sakura yang berguguran, terasa indah. Aku masih ingin menikmati suasana seperti ini. Tapi mataku menangkap sesuatu yang tidak menyenangkan. Bocah yang tadi kutemui di lobi, yang juga menjadi orang yang belakangan ini membuat Chii terkesima berjalan-jalan dengan santainya bersama seorang gadis. Lengan mereka bertautan, wajah gadis itu terlihat senang, helaian sakura yang berguguran disekitar mereka membuat suasananya nampak sangat romantis.
Aku hendak menegurnya untuk alasan Chii, tapi segera kuurungkan. Pikiran positifku muncul dan berpikir bahwa gadis itu mungkin adalah seorang kerabatnya.
“Inoo-chan, ikuo. Kita pulang”
“uhm, ok.”
Aku dan Inoo memutuskan pulang ke rumah. Ini sudah sore, langit menjadi lebih kelam, tetapi terlihat lebih indah.
Malam menjelang, langit yang tadinya buram oleh warna kelabu menjadi benar-benar suram, langit sore berganti langit gelap sang malam. Mentari yang tadi menggantung berganti rembulan dan bebintangan yang berhamburan di langit yang gelap, memberi penerangan lebih.
“Chii?” aku terkejut mendapati Chii datang bertamu ke rumahku malam ini. Ini sudah 1 minggu sejak terakhir kali Chii datang ke rumahku malam-malam.
“eto..., maaf mengganggumu. Aku ingin cerita.” Ujarnya polos.
“uh, oh. Tentu. Masuklah” aku mempersilahkan Chii masuk ke dalam kamar, melanjutkan cerita tentang perkembangan hubungannya dengan anak baru itu.
“sou, apa lagi yang terjadi?” tanyaku sesaat setelah kami berada di dalam kamarku.
“eto..., aku tidak tahu harus memulai dari mana.
*FLASH BACK: CHII POV*
Pagi ini terasa lebih cerah dari biasanya. Aku merasa musim semi baru saja di mulai hari ini, meskipun sebenarnya sudah lama. Aku berjalan lurus di lobi sekolah, suasana sekolah masih belum terlalu ramai. OSIS datang lebih awal pagi ini karena melakukan persiapan untuk peresmian siswa baru. Menjadi anggota OSIS adalah suatu kehormatan, dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan bekerja keras dan mengemban tugas ini. Tapi..., sepertinya aku sudah membuat Inoo-chan dan yang lain khawatir.
“Chinen! Chinen! Matte kudasai!” aku berhenti melangkah, seseorang memanggilku. Aku tidak terlalu mengenali suaranya, jadi aku berbalik untuk memastikan orangnya. Yaotome-san berlari ke arahku.
“doushita, Yaotome-san?” tanyaku pada teman satu profesiku ini. Yaotome Hikaru-san adalah anak yang pintar, dia satu kelas bersama Okamoto Keito-san dari kelas XI.IPA 2. Tapi mereka terlihat kurang akrab. Sangat tidak akrab.
“ano..., apa kau melihat Keito?” tanyanya.
“um..., tidak. Aku belum melihatnya pagi ini?”
“o-uhm..., yasudah. Terimakasih” setelah mengatakan itu, Yaotome-san pergi.
Aku kembali melanjutkan langkahku, melewati kelas-kelas yang masih sepi menuju ruangan OSIS yang berada di ujung sana. Tetapi lagi-lagi langkahku berhenti, sosok yang sejak seminggu lalu mengganggu pikiranku kini berdiri di dekatku sambil bersandar di dinding. Aku agak terkejut menyadarinya.
“Mo-Morimoto-kun?” ucapku setengah kaget. Ia kembali tersenyum, senyum yang biasa ditampakkannya padaku.
“ohayou, senpai!” sapanya kemudian.
“apa yang kau lakukan di sini? Ini masih sangat pagi dan peresmian siswa baru akan dilaksanakan jam 9 nanti, apa kau tidak mengambil surat undangan kemarin?” tanyaku. Ia menggeleng sesaat kemudian.
“aku hanya ingin melihat senpai di pagi ini!” jawabnya masih dengan senyum itu di wajahnya. Wajahku memanas, hanya karena kata-katanya. Apakah aku memang menykainya? Aku tidak tahu.
“ara..., Chinen-senpai, kau terlihat lebih kurus. Apa kau kurang makan?” tanyanya setelah mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“ah, iie. Daijobu da yo. Maa, aku pergi dulu. Kau berhati-hatilah. Jaa ne”
“chotto, senpai!” seruannya menghentikan langkahku. Aku kembali menghadapnya.
“nani?”
“eto...., bisakah..., em” dia menjadi terbata-bata. Wajahnya memerah, dia terlihat manis!
“katakanlah”
“eto..., apa, senpai mau makan siang bersamaku sebentar?” ucapnya tiba-tiba sambil merundukkan kepalanya, dia malu? Aku terkejut, lalu berpikir sejenak.
“haik, boleh. Kalau begitu aku pergi ya” setelah menjawabnya, akupun segera melangkah pergi, kudengar sedikit suara helaan napas dan kegirangan di belakang. Entahlah apa yang dilakukannya sekarang.
#LUNCH#
Waktu makan siang, aku jadi merasa bersalah menolak ajakannya saat di perpustakaan tadi, aku menjadi membuat mereka lebih khawatir lagi. Apalagi Inoo-chan. Tapi aku sudah terlanjur berjanji pada Morimoto-kun, jadi aku menunggunya di taman belakang sekolah. Aku tidak tahu kenapa dia ngotot ingin makan siang ditempat ini. Katanya dikiantin ramai, yah, aku juga ingin makan dengan tenang, jadi, baiklah.
“apa kau lapar, Senpai?!” suara yang familiar di telingaku menyahut dari belakangku, membuatku berpaling demi mendapati sosok tersebut. Masih dengan senyumnya, di tangannya terdapat sebuah bungkusan yang kuyakini berisi Obento.
“aah, tidak juga” jawabku.
“sou yo.” Morimoto-kun duduk di dekatklu di atas bangku taman itu, kemudian ia mulai membuka bingkisan itu dan sekotak bento sudah disispkan di sana beserta 2 pasang sumpit.
“karena aku yang ajak senpai makan, jadi hari ini aku yang traktir. Itadakimasu!” ucapnya masih dengan senyum khasnya. Aku mengangguk dan melanjutkan makan kami. Suasananya terasa asing, tapi menyenangkan dan menenangkan. Aku dan Morimoto-kun makan dengan senyum. Entahlah, aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Apa dia juga seperti itu?
*FLASH BACK: CHII POV-END*
“sou ka? Jadi tadi kalian makan siang bersama?” ucapku sambil berpose berpikir keras.
“uum, gomen ne. Aku menolak ajakanmu tadi. Tadi juga aku merasa ada seseorang yang mengintip kami. Entahlah, aku hanya merasa aneh, mungkin hanya perasaanku saja” perkataan Chii barusan membuatku terlonjak, karena pada kenyataannya akulah yang mengintip mereka dari balik semak-semak di belakang bangku taman tempat mereka duduk makan bento itu. Tapi aku tidak menyangka bahwa indra perasanya begitu tajam. Hanya tatapan horor yang bisa kuberikan padanya.
“shi-shiranai” ucapku masih dengan tampang horor mengarah pada si tupai itu.
“o-oh, demo..., aku sepertinya merasa kami cocok, entahlah. Kami pernah jalan-jalan ke taman kota, tetapi dia melarangku untuk pergi ke sebuah pohon sakura yang dikelilingi bebungaan yang berwarna-warni. Katanya dia benci warna yang terlalu beragam, tapi dia mengatakannya dengan lantang. Itu membuatku sedikit curiga, apa ini karena aku?” ucap Chii kemudian dengan senyum yang sangat tidak berdosa.
“ea, itu bukan kesalahanmu. Tapi..., cobalah untuk mencari tahu lebih dulu tentangnya. Jangan sampai kau sakit hati. Apalagi, baru pertama kali ini kau mwenywukwai seseorang, haha!!!” ucapku sambil meniru treadmark Yama-chan.
“haha..., watashi mo shiranakute. Demo...”
“maa-maa..., kau selalu bisa bercerita padaku. Mungkin aku juga akan memerlukan bantuan Inoo-chan. Tidak apa-apa kan?”
“uhm..., haik. Sore mo ii, tadinya aku membuat Inoo-chan khawatir, aku tidak ingin membuatnya lebih khawatir lagi”
“ne..., Inoo selalu mengkhawatirkan seseorang di dekatnya. Bagaimana jika kami punya anak nanti ya? Dia pasti akan menjaganya dengan baik. Haaa..., membayangkannya menggendong bayi kami dengan ekspresi yang sangat kawaii membuatku tidak tahan~” aku sadar dengan ucapanku, dan tatapan Chii terlihat mengintimidasi ke arahku, dia cukup menakutkan dengan ekspresi itu.
“muri desu yo. Inoo-chan wa otoko desu. Dia tidak mungkin hamil” sahut Chii meruntuhkan semangatku. Aku benar-benar terpuruk, perkataan tupai itu tepat mengenai sasaran. Sepertinya hubungan kami selama ini membuatku lupa gender Inoo yang sesungguhya. Inoo-chan, gomen ne.
“aku pulang” sahut Chii yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu yang sudah terbuka, ia hendak keluar.
“o-oh, hati-hatilah” setelah mengatakan apa yang ingin dikatakannya, Chii segera angkat kaki dari kamarku dan pulang ke rumahnya.
*JUMPING*
Hari-hari berlalu, tetapi semua nampak masih sama bagiku. Chii semakin dekat dengan si bocah Morimoto itu, ketahuan dari setiap cerita yang dilontarkannya tiap malam dia ke rumahku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan si Morimoto itu, apa Chii tidak begitu baik menurutnya? Kenapa dia pergi bersama gadis lain saat tidak dengan Chii. Aku melihatnya beberapa hari yang lalu, sudah cukup lama aku melihatnya jalan dengan gadis-gadis yang berbeda setiap kali aku mendapatinya dengan sembunyi-sembunyi. Si brengsek itu benar-benar playboy! Aku tidak mau dia menyakiti Chii. Chii harus tahu kepastiannya. Aku dan Inoo sangat mengkhawatirkan Chii, jadi kami tidak ingin membuatnya sakit hati nantinya.
“Chii! Kau ada waktu?!” sapaku pada Chii ketika kami sedang dalam waktu senggang.
“nani?” tanyanya. Inoo juga mendekat pada kami.
“ikutlah bersama kami untuk jalan-jalan sebentar. Ne..., kita tidak pernah jalan bersama lagi kan?” sahut Inoo.
“eto..., um, baiklah!” jawabnya dengan wajah girang.
“sou, sepulang sekolah kita pergi ke taman kota ya!”
“haik!”
Aku dan Inoo kemudian menyingkir dari hadapan Chii, dia juga terlihat sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai ‘karyawan’ sekolah.
“ne..., apa kau yakin Chii akan baik-baik saja?” bisik Inoo padaku. Aku terenyum memandang wajahnya yang menyiaratkan kekhawatiran. Ia takut melihat Chii yang sudah kembali malah down dan keadaannya seperti beberapa hari yang lalu ketika dia banyak kerjaan.
“daijobu yo. Kau tidak ingin Chii tersakiti lebih jauh kan?” ucapku lembut sambil menggenggam tangannya.
“um!”
Waktu berlalu, tanpa terasa jarum jam sekolah menunjukkan pukul 3, itu menyiaratkan bahwa waktu belajar di sekolah telah berakhir, dan kini saatnya kembali ke rumah masing-masing. Siswa-siswi di sekolah itu berhamburan keluar dari setiap ruangan di sekolah, menuju gerbang raksasa yang terpampang di ujung sekolah. Aku, Inoo, dan Chiipun tidaklah berbeda. Kami melangkah sejajar menuju gerbang tersebut, sambil sesekali tertawa dan membicarakan hal-hal yang berbau humor. Melihat senyum Inoo dan Chii membuat sedikit perasaanku khawatir. Bagaimana dengan reaksi Chii nanti?
Langkah kami bertuju pada taman sakura di pusat kota. Tempat di mana aku dan Inoo selalu memergoki si Morimoto berkencan dengan gadis yang selalu berbeda-beda, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Kami terus berjalan, tidak berapa lama kemudian, sebuah pemandangan ang kuanggap biasa terlihat muncul. Benar, si bocah Morimoto itu juga ternyata berkencan hari. Dan lagi, di pohon sakura yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Pohon sakura yang cukup besar dengan pagar berupa bebatuan, disekelilingnya terdapat bebungaan yang berwarna cerah dan beragam, lalu helaian sakura itu berguguran di atas mereka, seperti film dengan genre romance yang tinggi, suasana itu sangat romantis. Aku melirik sejenak keadaan itu. Sang gadis terlihat sangat senang, senyum manis merekah di bibirnya, lalu wajahnya begitu penuh akan lukisan kebahagiaan. Dan si bocah Morimoto itu, hanya menampakkan ekspresi bosan, dia hanya sibuk menatap helaian bunga sakura yang jatuh berguguran di hadapannya.
“ano teme...” gumamku geram. Bagaimana jika Chii melihatnya? Apa yang akan dirasakan Chii saat ini?
“ano..., Chii?” sahut Inoo, nada suaranya terdengar khawatir, lalu aku menoleh pada mereka.
‘shimatta!!!’ batinku menjerit ketika menyadari pandangan Chii sudah menatap lurus ke arah pasangan itu. Ia terkejut, pasti sangat berat baginya menerima kenyataan seperti ini. Padahal hatinya sudah sangat sayang pada bocah itu, tapi Chii masih sangat polos.
“ano hito wa, Morimoto-kun ka?” tanyanya sambil pandangannya masih menatap pasangan itu.
“um..., Chii, tenanglah. Kita sebaiknya pulang saja. Ikuo,” ajak Inoo. Tetapi Chii menolak. Lalu ia melangkah mendekati bocah Morimoto itu bersama gadisnya. Dalam pikiranku, aku membayangkan Chii bertransformasi menjadi seorang iblis dan langsung menghantam kedua orang yang berkencan itu dengan kekuatan luar biasa. Aku tidak ingin meremehkan Chii ketika dia sedang marah. Jadi, aku dan Inoo mengikutinya, dengan niat menghentikan pria tupai itu untuk meluapkan amarahnya. Tetapi kami terlambat, tepat saat kami hendak menari lengan mungilnya, ia sudah berada tepat di hadapan bocah itu dan kekasihnya. Si Morimoto itu hanya menunjukkan ekspresi terkejut, matanya terbelalak, tiba-tiba muncul keringat dingin di dahinya, lalu kulitnya berubah menjadi pucat, apa dia tidak bernapas?
“eeh, dare?” tanya gadis di dekat Morimoto itu menunjuk Chii.
“se-senpai?” ujar Morimoto gelagapan.
“sou, jadi kau senpai Taro-chan? Aku Minami, kekasihnya, yoroshiku!” ujar sang gadis sambil menjulurkan tangannya ke arah Chii, tapi sama sekali tidak ditanggapi oleh Chii.
“ano ne..., kupikir kau mengatakannya dengan tulus” Chii memandang bocah Morimoto itu, terlihat ia menarik napas panjang, sepertinya sangat berat sekali baginya. “tapi sepertinya aku memang sangat polos. Terima kasih banyak untuk semua kata-kata itu. Sungguh, aku sangat menghargainya. Permisi” setelah mengucapkan itu, Chii segera beranjak dari sana, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Chii menangis.
“ano..., senpai! Matte!!!” seru Morimoto mencoba menghentikan Chii, tapi Inoo mencegahnya. Ia melempar tatapan dingin nan menusuk pada bocah itu, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Kamipun segera menyusul Chii, dan meninggalkan kedua orang itu dalam diam mereka.
Hari itu, Chii mengetahui fakta yang menyakitkan tentang orang yang disukainya, bahwa orang yang disukainya tidak seperti yang diinginkannya. Orang yang mengkhianati kata-katanya. Gomen ne, Chii. Tapi kami tidak ingin kau tersakiti lebih jauh lagi ketika dia sudah menaruh perasaannya yang sangat dalam pada bocah itu. Poor Chii. Sore itu, cakrawala musim semi dipenuhi lukisan orange dengan sejuta keindahannya yang memilukan, menjadi saksi bisu tangisan Chii. Aku tidak pernah melihatnya menangis bahkan ketika dia harus menahan sakit di tubuhnya atau mendapat pekerjaan yang sangat berat dan banyak dari senpai Nakayama. Aku benar-benar terkejut, anak itu benar-benar sukses membuat Chii menangis untuk pertama kalinya di depan mataku.
*JUMPING*
Malam menjelang, langit sangat bersih dengan hamparan selimut bebintangan yang cerah, juga sang bulan yang menggantikan mentari meneragi malam yang dingin. Seperti biasa, aku berada di dalam kamarku sekarang. Tapi aku tidak sendirian, Inoo menemaniku belajar. Kami punya banyak tugas sekolah yang harus diselesaikan minggu ini. Kami pasti sedang khusyuknya belajar, jika saja kaa-san tidak mengetuk pintu kamar.
“sayang, ada temanmu yang ingin menemuimu!” seru kaa-san dari balik pintu.
“uh? Siapa?” tanya Inoo.
“Chii kah?” ujarku balik bertanya “yasudah, persilahkan masuk!” seruku.
“dia sudah berada di depan kamarmu!” jawab kaa-san dengan suara yang semakin memelan, kaa-san sudah meninggalkan pintu. Aku lalu berjalan turun dari kasur dan membuka pintu. Aku cukup terkejut mendapati siapa yang datang, bukan Chii. Tapi bocah Morimoto itu. Aku lalu menatapnya tajam.
“untuk urusan apa kau ke sini? Apa tidak cukup kau menyakiti Chii?” tanyaku dengan nada menusuk lagi dingin. Ia tidak menjawab, wajahnya ia tundukkan. Kesal karena merasa diabaikan, akupun berniat menutup pintu. “pulanglah”.
Tidak sempat aku menutup pintu itu, bocah itu menahannya. Kemudian ia mengangkat wajahnya, menampakkan raut yang memelas penuh gambaran penyesalan.
“ini salah paham..., dengarkan aku, senpai” ucapnya dengan nada yang benar-benar memelas.
“kenapa aku harus mendengarkanmu? Chii punya hati yang lebih hancur dari ini” ucapku jutek.
“aku..., tidak pernah mencoba mengkhianati Chinen-senpai. Biarkan aku menjelaskan semuanya, tanome...” mohonnya.
“baiklah, kau punya cukup waktu untuk menjelaskan semuanya. Berusahalah untuk meyakinkan kami” sahut Inoo dari belakang.
“demo, Inoo-chan?”
“urusai na omae -_-. Dia sudah memohon sampai seperti ini, apa kau iblis?” jawab Inoo dengan nada mengutuknya. Aku tahu aku tidak bisa menang darinya. Jadi kami mebiarkan bocah Morimoto itu masuk ke dalam kamar dan menjelaskan semuanya. Kuharap dia punya cukup alasan logis untuk meyakinkan kami.
“boku wa..., Chinen-senpai wa dai suki. Karena itu, aku tidak ingin menyakitinya” ujarnya memulai cerita.
“lalu..., kenapa kau selalu berkencan dengan gadis-gadis? Dan lagi, mereka berbeda setiap kali aku melihatmu!” potongku.
Ia menggeleng “Chinen-senpai mengubahku. Sejak pertama aku melihatnya di hari pertama pendaftaran masuk SMA, aku langsung menyukainya. Sesuatu di dalam diriku rasanya ingin melompat keluar saat melihatnya. Jadi saat terakhir MOS, aku memberanikan diri menyapanya. Tetapi, aku ini memang playboy yang menyedihkan. Dan semua kalimat yang kukatakan padanya menjadi sebuah gombalam. Tetapi kami menjadi sangat dekat. Dan sudah kuputuskan, bahwa Chinen-senpai adalah orang yang sangat berharga bagiku” ungkapnya.
“tapi itu tidak menjelaskan apapun soal gadis-gadis itu” sahut Inoo.
“aku ini adalah playboy yang menyedihkan. Aku banyak memacari gadis-gadis yang populer dan cantik menurut ukuran orang-orang. Tetapi ketika bertemu Chinen-senpai. Aku merubah semuanya. Semua gadis itu, aku memutuskan mereka” oke, kali ini penjelasan bocah itu memang membuatku sedikit tercengang. Tapi mana mungkin?
“kau tidak mungkin memutuskan gadis di tempat seromantis itu. Kau tau, sakura yang berguguran, bebungaan yang berwarna-warni, dan suasana romantis lainnya?” sahutku lagi.
“pohon itu, adalah satu-satunya tempat di mana aku menyatakan cinta pada gadis-gadis itu. Dan di situlah aku akan mengakhirinya. Aku ingin mengubur semua jejak hubungan itu di sana, bersama semua kenangan tidak menyenangkan mereka. Karena pada dasarnya, aku tidak pernah menyukai mereka. Aku bertekad berhenti menjadi seorang playboy dan setelah itu, aku akan menyatakan cintaku, pernyataan yang sesungguhnya pada Chinen-senpai. Tapi semua itu..., kini terlihat buram di mataku”
Anak itu menjelaskannya dengan raut wajah yang serius, matanya berkaca-kaca, dan napasnya terlihat tak beraturan. Dia seperti sedang menahan emosi yang cukup kuat.
“tapi, apa yang membuat kami percaya bahwa kau takkan melakukan hal yang sama pada Chii?” tanyaku lagi, lebih dengan nada mendiskriminasi.
“senpai bisa menusukkan pedang sebanyak apapun ke jantungku. Aku berjanji, akan menjaga Chinen-senpai dengan semua kemampuanku, tanome..., aku takut kehilangan dia!” ucapnya dengan air mata yang mulai keluar dari pelupuk matanya. Aku hanya menatapnya tak percaya dan terkejut. Apakah dia bisa dipercaya?
“gomen nasai ne, Ryutaro-kun” suara lembut Inoo menggema di ruangan itu, aku dan Morimoto menatapnya. Seulas senyum menguntai di bibir manis Inoo.
“I-Inoo-senpai?”
“karena kami, kau jadi kehilangan kepercayaanmu dari Chii. Tenanglah, aku akan membantumu untuk kembali padanya. Sejujurnya, dia juga menyukaimu.” Ucap Inoo masih dengan senyum itu di wajahnya.
“tapi..., kenapa kau tidak mengatakannya langsung pada Chii?” tanyaku lagi.
“Chinen-senpai tidak pernah mengangkat telfonku atau membalas mailku, dan ketika aku ke rumahnya, dia sama sekali tidak keluar. Bahkan menyuruh pembantunya mengusirku” jawabnya. Poor Ryutaro.
“baiklah, aku pegang janjimu. Ingat, rasa sakit yang akan kau terima nanti akan lebih sakit daripada apapun yang kau lakukan pada Chii kemarin!” ucapku meyakinkan, dan dibalas oleh anggukan mengerti oleh sang bocah.
*JUMPING*
#AUTHOR P.O.V#
Hari-hari musim semi berlanjut, apa yang diinginkan oleh seseorang adalah sesuatu yang indah dan menenangkan di musim semi ini, karena ini hanya terjadi sekali dalam setahun. Bukan air mata dan kekecewaan. Seperti yang melanda seorang pemuda bertubuh mungil dengan surai kecoklatan seperti Chinen. Hatinya terasa remuk mendapati orang yang disukai dan disayanginya berkencan dengan bahagia dengan seorang gadis. Yah, dalam pikirannya, orang polos sepertinya memang tidak bisa terlalu mengharapkan hal yang demikian. Dia orang yang rapuh dan mudah tersakiti. Tapi..., dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Hanya hamparan bebungaan di dalam taman belakang sekolah yang menemaninya. Di atas bangku taman yang pernah didudukinya bersama bocah sialan itu (menurutnya), Chinen duduk sambil termangu, wajahnya menyiaratkan ekspresi yang suram.
“hh..., Dai-chan, Yama-chan. Aitakata yo, aku butuh kalian sekarang” ucapnya sambil memeluk dirinya sendiri. Pandangannya menyendu, mengingat 2 karibnya yang sudah sangat berjauhan jaraknya. “seandainya kita tidak terpisah. Kurasa aku tidak memerlukan orang lain untuk kucintai. Dai-chan dan Yama-chan adalah orang yang penting...” ucap Chinen dengan suara semakin sendu.
“aku akan menjagamu. Percayalah padaku”
Suara baritone yang membuyarkan suasana tenang itu membuat Chinen terkejut. Ia sangat menghafal bunyi suara itu, suara orang yang membuatnya terluka dan sedih. Chinen menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan raut mukanya yang pastinya sangat menyedihkan.
“apa maumu Morimoto-kun?” tanya Chinen dengan suara paraunya, wajahnya masih ia tundukkan.
“aku ingin menemui senpai dan menjelaskan semuanya. Kemarin adalah sebuah kesalahpahaman. Aku ingin senpai tau bahwa...”
“kau mempermainkanku?!!!” bentak Chinen memotong perkataan Ryutaro.
“bu-bukan begitu. Aku...,aku akan menjelaskan semuanya. Tentang gadis itu, tentang tempat itu. Senpai, tolong dengarkan aku.” Nada suara pemuda itu terdengar lemas, ia memohon.
Chinen berdiri dari duduknya, lalu perlahan ia berbalik. Mata Ryutaro terbelalak, tubuhnya bergetar saat melihat air mata jatuh dari pelupuk mata sang senpai. Ryutaro berjalan mendekatinya masih dengan wajah khawatirnya. Ia memeluk sosok yang lebih pendek darinya itu, erat.
“lepaskan aku...” ucap lirih Chinen tanpa membalas pelukan itu.
“yada...” jawab Ryutaro.
“kubilang lepaskan!!!” Chinen berteriak sekerasnya berusaha membuat Ryutaro melepasnya.
“yada yo!!!!” Ryutaro malah balis membentak.
“apa maumu? Apa tidak cukup melihatku seperti ini? Kau ingin lihat lagi?”
“yada...., mo yada...” suara Ryutaro terdengar bergetar, ia menangis sambil menyembunyikan wajahnya di pundak Chinen “boku wa..., Chinen-senpai daisuki! Hounto, aishite...” kalimat yang barusan terlontar dari mulut Ryutaro baru saja membuat tubuh Chinen lemas. Ia berpikir bahwa pemuda yang tengah memeluknya ini sedang mempermainkannya. Chinen berusaha melepaskan kedua lengan Ryutaro yang melilit tubuhnya, dan berhasil. Chinen kemudian memandang Ryutaro dengan senyum pahit.
“apakah kau sudah selesai bicara? Kau tau aku juga menyukaimu. Tapi kau juga tau, hatimu tidak pernah bisa ditempati seseorang. Akuilah saja, Morimoto-kun, kau hanya mempermainkanku. Salahku karena terlalu polos” setelah mengatakan itu, hendaklah Chinen melangkah pergi dari tempat itu, tetapi tangannya digenggam erat oleh telapak tangan Ryutaro, membuatnya harus berhenti. Lalu tanpa aba-aba, Ryutaro menarik Chinen kedalam pelukannya, kemudian menempelkan bibirnya dengan bibir Chinen. Yang diperlakukan seperti itu hanya membatu menerima ciuman itu, Chinen tidak dapat melakukan apa-apa. Ryutaro mencium bibir itu lembut, melumatnya dalam sebuah irama yang pas, membuat Chinen juga sebenarnya menikmati sentuhan hangat itu di bibirnya.
Setelah berciuman sekitar 3 menit, mereka melepas pagutan itu, terlihat benang saliva masih menghubungkan bibir mereka.
“aku ingin kau percaya, senpai. Aku tidak pernah ingin menyakitimu. Gadis-gadis itu adalah mantanku sekarang”
Chinen menatap Ryutaro dengan tatapan bingung. “maksudmu?”
“aku ini playboy yang sangat menyedihkan. Aku banyak mengencani gadis yang populer dan kaya. Tapi aku sama sekali tidak tertarik pada mereka. Bagiku mereka hanya sesuatu yang dapat memuaskan dahagaku untuk sementara waktu”
“sore mo watashi...”
“Chinen-senpai wa chigau! Aku tidak merasakan hal seperti ini. Perasaanku berguncang tiap kali melihat senpai, atau ketika dadaku terasa sempit saat mendangar suaramu, senpai. Sejak pertama aku melihat senpai, aku sudah menyukaimu. Lalu saat aku bisa berbicara dengan senpai, aku bersumpah pada diriku demi masa depan dan duniaku bahwa aku hanya akan mencintai senpai saja. Jadi aku memutuskan semua gadis itu, mempertaruhkan semuanya pada senpai dan berharap senpai akan menerimaku.”
Penjelasan Ryutaro cukup membuat Chinen terkejut.
“tapi tempai yang indah itu..., tempat di mana kau melarangku mendekatinya tetapi mengajak gadis-gadis itu ke sana? Apa maksudnya itu?” tanya Chii masih dengan eksperesi yang begitu menyedihkan.
“pohon itu..., adalah tempat di mana aku menyatakan cinta pada gadis-gadis itu, dan di sana pula aku meninggalkan mereka. Membiarkan semua kenanganku bersama mereka dulu terkubur dalam-dalam di tempat itu, lalu memulai hal baru bersamamu, senpai. Aku tidak ingin menyamakan senpai dengan mereka, senpai terlalu berharga dari mereka. Aku menyukai senpai dari apapun, aku mencintaimu, senpai” Ryutaro memeluk Chinen, membawanya ke dalam dekapan yang nyaman, seperti udara musim semi ini.
Angin sepoi-sepoi bertiup perlahan, menerpa helaian rambut kedua insan yang masih berpelukan itu. Yah, Chinen akhirnya membalas pelukan itu, pelukan yang hanya diberikan untuknya. Setelah beberapa saat kemudian, keduanya melepas pelukan itu, lalu saling bertatapan.
“Chinen-senpai...” Ryutaro berlutut di hadapan Chinen dengan gaya selayaknya orang yang hendak memberikan sebuah cincin pernikahan pada pasangannya. “boku wa, hounto senpai ga dai suki! Aku akan menjaga senpai dan takkan membiarkanmu menangis lagi. Karena itu..., karena itu biarkan aku berada di sisimu dan selalu menjagamu agar tetap aman. Maukah senpai menerimaku?” ucap Ryutaro sambil menatap Chinen dengan serius. Chinen kemudian tersenyum meremehkan.
“jadi kau menggunakan kalimat-kalimat gombal seperti itu untuk mendapatkan gadis-gadis itu?” ujar Chii yang ditanggapi dengan tatapan memelas dari sang Ryutaro.
“aku benar-benar serendah itu ya?” ucap Ryutaro tersenyum pahit sambil memandang ke arah lain.
“demo, ii darou? Boku mo, Morimoto-kun wa daisuki! Kata-kata itu tidaklah penting dalam mengungkapkan cinta berdasarkan makna dan deretan arti-arti, tetapi yang lebih penting adalah caramu mengekspresikannya. Aku selalu belajar itu dari Inoo-chan dan kekasihnya. Arigatou na...” jawab Chii dengan senyumannya yang telah kembali. Wajah Ryutaro langsung berubah senang ketika melihat wajah itu sudah terpasang kembali di tempatnya. Chinen yang seperti bunga di musim semi, Chinen yang sesejuk angin sepoi-sepoi, dan Chinen yang seperti malaikat pembawa kegembiraan. Semua itu sudah kembali.
Dan semua masalah itu selesai di taman yang indah itu, di tengah hamparan beragam bunga yang bervariasi dan wangi, juga hembusan angin musim semi yang menerpa lembut setiap inci kulit dan melambaikan surai mereka. Dan di tempat itu pula, Chinen Yuuri mendapatkan cintanya. Cinta yang diimpi-impikannya.
“ah, sou ka. Aku ingin mengenalkanmu dengan seseorang” ucap Ryutaro sambil menyelipkan tangan kanannya di saku bajunya.
“ara?” Chinen hanya memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung. Tangan Ryutaro dikeluarkannya dari saku baju itu, lalu keluarlah sesosok makhluk seperti tikus dengan warna yang lebih beragam. Wajahnya lebih bulat seperti bakpau, seekor hamster.
“ano..., seseorang..., hamster?” tanya Chinen lagi dengan mata tertuju pada hamster mungil yang berada di telapak tangan Ryutaro.
“namanya Ham-chan. Dia sahabat terbaikku!” ucap Ryutaro sambil tersenyum manis, hal itu mau tidak mau membuat wajah Chinen ikutan memanas dan memerah seperti buah strawberry kesukaan Yamada.
“Ryu-chan, kau terlihat sangat mirip dengan Ham-chan ketika tersenyum. Sangat manis, dan aku suka!” ujar Chii sambl tersenyum memamerkan gigi kelincinya. Wajah Ryutaro menjadi panas dan warnanyapun kini tak jauh beda dengan wajah Chinen.
“ka-kalau begitu, aku terus senyum saja. Ne?” jawab sang maniak hamster itu sambil masih mempertahankan senyum tadi di wajahnya.
“ii desu”
Sejak saat itu, keduanya tidak pernah terpisah, menjadi pasangan seorang Ryutaro Morimoto bukan hal mudah bagi seorang Chinen Yuri, karena dia harus menghadapi sarapan berupa death glare dari gadis-gadis yang mengidolakan mantan playboy tersebut. Begitupula Ryutaro yang tidak mudah menjadi pacar Chinen Yuri yang notabane sangat sibuk dengan urusan OSISnya sehingga waktu berduaan bagi mereka di sekolah sangat sedikit. Tapi toh, mereka bisa melakukan sesuatu dengan semua itu, dan hubungan mereka menjadi baik-baik saja. Tupai dan Hamster, bukan jenis yang cocok, tapi mereka sama-sama pengerat. Wkwkwk.
*END AUTHOR POV*
@FLASH BACK: END@
Kami semua tertawa di ruangan itu mengingat masa lalu yang begitu menyenangkan. Tawa mereka sungguh terlihat hangat.
“aah, ketika bersama Chii, kau jarang membahas tentang Ham-chan, desu ne?” tanyaku pada Ryutaro yang masih tertawa.
“kami sering membahasnya ketika sedang berdua!” jawab Ryutaro.
“apa kalian mengatakan hal yang jorok soal tikus itu?” sahut Yuto lagi-lagi dengan nada mengejeknya.
“Ham-chan bukan tikus, Nakajima-san!” tegas Ryutaro dengan wajah horor.
“Nakajima Yuto-sama, jika nada jutek anda masih seperti itu. Kau tidak akan bisa mendapati malam yang hangat nanti” ucap Yama-chan smbil menatap Yuto dengan tatapan mengintimidasi, membuat Yuto tidak dapat berkutik.
“wajahmu lucu, Yuto-chan!” sahut Inoo sambil tersenyum pada Yuto.
“urusai na omae!” ketus sang Nakajima.
“kalian semua bersenang-senang tanpa aku!” sebuah suara menyahut dari lantai atas. Semua orang menoleh pada sosok tersebut. Di ujung tangga sana, berdiri sosok yang sedari tadi ditunggu-tunggu, dengan sebuah Yukata Kimono dan hakama yang membalut tubuhnya itu, dia tampak seperti seorang putri. Semua orang cengok, pasalnya, penampilan Chii kali ini mengingatkan kami semua akan penampilannya ketika kami menghadiri festival sekolah di tengah kota, minus Ryutaro. Dia benar-benar mirip dengan waktu itu.
“o-ah. Chii sudah selesai. Kurasa kita bisa pergi sekarang?” sahutku memecah keadaan yang hening itu. Mereka semua langsung kelabakan, Chii begitu mempesona.
“haik, ikuo!” seru Ryutaro bersemangat.
“ano..., apa kita tidak menjemput Hika-san? Dia mengirimiku mail dan bilang bahwa dia juga akan bergabung jika bisa?” sahut Chii.
“ah, sou desu ne! Rumah Hikaru-san berada tidak jauh dari tempat ini kan? Hanya 3 blok dari sini. Yasudah, jangan buang waktu lagi. Ayo berangkat ke sana!” ujar Yamada bersemangat.
Setelah mengetahui tujuan berikutnya, kamipun segera beranjak dari kediaman Chii dan pergi ke rumah Hikaru. Kira-kira, kejutan seperti apa yang menunggu kami nanti? Aku tidak sabar. Mengingat masa lalu kami sangatlah menyenangkan!




OWARI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar